Part 2

27.3K 1.8K 20
                                    

Keenan's pov

Aku masih tidak bisa menyembunyikan kekagetanku saat melihat sesuatu dihadapanku. Seorang dokter muda yang tampak luar biasa. Rambutnya, matanya, hidungnya, rahangnya, semuanya sempurna. Ya Allah, nggak ada ruginya juga Keenan bolos sekolah hari ini. Batinku bersyukur.

Kekagetanku bertambah saat sepasang mata hitam mengkilat itu menatapku dengan seksama. Membuatku jadi ingin berteriak lebay seperti mama. Aku melihat dengan jelas bagaimana dokter itu menarik dan menghembuskan napasnya. Rasanya aku ingin mati saja.

"Ehem." Aku tersadar saat dokter itu berdehem kecil.

"Eh." Kenapa aku mendadak salah tingkah begini?

"Silahkan duduk." Loh? Kok dia jutek? Kok dokternya dingin sih? Kok ganteng-ganteng cuek sih? Awalnya aku mengira bahwa dokter ini begitu hangat, tidak jauh berbeda denganku.

"Sakit apa?" tanyanya padaku. Kenapa mata itu menatapku malas? Apa aku bau? Atau aku jelek? Nggak. Aku nggak bau, yang bau kan cuma si Mikha. Aku juga cantik kok, buktinya setiap malam papa selalu bilang aku cantik kalau aku mau tidur.

"Saya pusing, dok. Terus saya juga sakit perut." Dokter itu melihat ke arahku sekilas lalu beralih pada sebuah kertas dan mencatat keluhanku pada kertas tersebut.

"Baring disana." Perintahnya dengan nada dingin. Haa? Baring? Maksudnya apa?

"Nggak mau, dok." Tolakku ketus. Gila ni dokter, mesum juga pikirannya. Masa disuruh baring sih. Si dokter mau ngapain coba. Batinku tidak terima.

"Saya bilang baring disana."

Aku masih menggeleng semangat.

"Baring disana." Perintahnya makin galak. Dan itu langsung membuatku merinding.

Aku melangkahkan kakiku dengan ragu ke arah kasur tersebut. Dan pelan-pelan membaringkan diriku. Dokter tersebut bersiap-siap dengan stetoskopnya. Dan aku tersentak saat kulit tangannya menyentuh permukaan kulit perutku dan itu membuatku kegelian. Dokter ini ingin membuka bajuku? Langsung saja kutepis tangannya. Dan dokter itu malah menatapku bingung.

"Kamu belum pernah ke rumah sakit terus di periksa dokter ya?" Aku menggeleng, masih dengan semangat '45. Memang benar, aku belum pernah memeriksakan penyakitku ke rumah sakit. Karena biasanya aku akan pergi ke rumah tante Nola.

"Kalo di periksa dokter pernah dok, tapi kalo ke rumah sakit buat meriksa beginian belum pernah." Dokter itu sepertinya bingung dengan perkataanku.

Aku kembali tersentak saat tangan dokter itu ingin mengangkat bajuku.

"Dokter mau ngapain sih?" tanyaku curiga.

"Kamu bisa diam nggak sih? Biarin ini berjalan cepat dan setelah itu kamu bisa pulang." Perkataan itu langsung membuatku terdiam dan membiarkan dokter itu memeriksaku.

Jantungku berdegup kencang saat dokter itu meletakkan benda dingin itu di atas perutku. Menggeserkannya ke kanan lalu ke kiri. Aku tidak dapat menyembunyikan diriku yang kegelian dan langsung bergetar. Tapi sepertinya dokter itu tidak melihat getaran yang dihasilkan oleh tubuhku.

Aku menghela napas saat dokter itu menyuruhku turun dari kasur tersebut. Kemudian, aku kembali duduk di depan kursi dokter itu. Melihat wajahnya yang serius entah mengapa membuatku tersenyum tipis. Dia ganteng, tapi sayangnya cuek. Gimana bisa punya pacar kalau cueknya kayak gitu.

KeenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang