October

96 18 1
                                    

October

Andela mempunyai pendengaran yang cukup tajam walau hanya sepintas terlewat dalam indra pendengarnya. Saat senja hendak memberi tabir kelabu pada bumantara, begitu kelas ekskul panahan telah berakhir pada hari Senin yang damai, telinganya telah menangkap sebuah gosip yang membuat kalbunya terpantik emosi dalam,

"Bicara lagi, akan kubidik tenggorokanmu."

Semua terjadi dalam satu dan tarikan napas hingga Adeuce tidak bisa menahan teman perempuan mereka lebih jauh yang berlari ke arah satu dari dua mahasiswa kisaran tahun keempat. Menendang punggunya, mengambil satu anak panah yang siap dilesatkan kapan saja jika Andela mau. Rekan dari mahasiswa itu telah pergi lebih dulu menjadi sebuah teratai yang dibawa oleh sihir anginnya,

"Andela!! Cukup Andela!!" bujuk Ace, tak lupa menarik lengan dan silih berganti ke pinggang sang dara. Namun sayang, respon Andela adalah sesuatu yang Adeuce takutkan. Iris biru memandang tajam pada iris ruby lain dari mahasiswa yang diserangnya. Cerulean itu nampak memancarkan aura kebencian, begitu dalam, gelap dan cekung tanpa pengampunan.

"Tidak kak!!" ucapnya lantang, "Aku ingin dia menarik semua kalimat yang keluar dari mulut beracunnya ini!"

'Kok mau yah? Tujuh Terhebat menerima dia? Aku pikir, mereka orang yang hebat, ternyata aku salah. Mereka hanya sekumpulan ampas yang mau menerima ampas lain rupanya.'

Andela sudah biasa menerima hinaan untuknya. Namun lain jika kasusnya menyangkut Tujuh Terhebat, emosi bisa terpantik dalam batinnya seketika mendengar para kepala yang dihina dari orang yang jauh lebih hina. Andela bersumpah akan membidik mulut siapa saja yang telah mengucap hal jelek yang ditujukan untuk Great Seven,

"Andela!" teriak Ace sekali lagi,

"Enggak!!" pekik Andela nyaring, "Kakak dari Octavinelle ini harus segera menarik kembali semua hinaannya!!"

"ANDELA!!" bentak Deuce. Pemuda itu tidak sadar atas apa yang dilakukannya.

Namun saat Andela mendengar bentakan yang datang dari Deuce, lengan kanan sang gadis yang siap membidik tepat di tenggorokan mahasiswa itu mulai turun dari senarnya yang menegang barusan. Segera gadis itu bangkit dari siswa bersurai pirang panjang yang nyaris dibidik olehnya,

Detik itu juga Deuce langsung membekap Andela, dengan cara menyembunyikan wajah gadis itu di dadanya. Kesannya seperti ada seseorang yang mengganggunya, tidak salah memang... namun tidak bisa dikatakan benar juga.

Ambu dari Deuce layaknya seperti rumput segar yang dijatuhi embun, sehingga mampu membuat iris biru Andela kembali normal seperti semula. Tidak ada iris padmarini yang terpancar, melainkan hanya sisa dari penyesalan yang membekas.

"Oho, mohon maaf ya senior." Suara Ace mulai terdengar, "Bukan masalah status atau bukan. Jika gadis ini bisa mengikuti pelajaran dengan baik, apa salahnya dipertahankan? Kemampuan akademiknya jauh lebih baik ketibang pelajar dalam kelas kami yang bisa memakai sihir. Tidak percaya kan?"

"Memangnya apa yang harus kupercayai dari bocah seperti kalian?"

"Memangnya ada yang memintamu untuk percaya?" Ace bertanya balik, "Namun ampas ini belajar banyak dari Tujuh Kepala. Mereka tahu, sihir bukanlah satu-satunya jalan agar bisa diakui."

Mahasiswa itu tidak berkelit. Ia pergi begitu saja dengan cara menghilangkan diri menjadi sebuah bayangan yang menyatu pada dinding.

Suara busur kayu yang bertemu lantai dingin menggema di sepanjang koridor. Andela melepas dirinya dari dekapan Deuce saat itu. Ace langsung memberikan tatapan tajam untuk teman perempuannya yang nampak masih memproses sesuatu,

CamaraderieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang