⛈️ Kehilangan Permata

104 27 14
                                    

~Be Like Water, Habibi~
Kemalangan terbesar dalam hidup ialah, di saat tak ada lagi sang surga nyata yang dapat meluluhkan semua luka.
.
.
.
-🌙-

Sabtu, 12 Januari 2019.

Habibi POV

Hari ini adalah hari yang membahagiakan untukku. Seharusnya? Tetapi sepertinya, hari ini tidak akan lagi seindah biasanya. Jika sebelumnya Ayah, Mama, Kakak, dan aku sedang melakukan pesta. Namun, tidak untuk hari ini. Umurku sekarang sudah 15 tahun. Hmm, sudah dewasa atau belum, ya?

Kata Mama sih, aku itu lebih dewasa daripada Kak Fahri, dan menurutku juga begitu. Sebab, Kak Fahri itu manja. Bahkan untuk makan pun Kak Fahri harus disuapi oleh mama, kalau tidak dia bisa ngambek dan mogok makan. Hahaha Kak Fahri lucu, kan? Tetapi, sepertinya aku gak bisa lihat hal itu lagi. Aku sedih deh, sedih banget.

Sekarang, di depanku ada dua orang yang kelihatan lemah dan lusuh. Padahal yang ku tahu, mereka adalah orang terhebat dan terkuat yang pernah aku kenal. Aku saja kalah, melihat mereka seperti itu aku jadi ingin menangis, eh tidak. Aku kan sudah menangis daritadi. Sosok paruh baya di depanku ini adalah sosok pria yang sangat hebat, mengapa? Karena sejak aku hidup  bersamanya, sesulit apapun rintangan dan sekeras apapun jalan kehidupan, ia tetap tegar dan kuat. Aku sangat menyayangi sosok itu, begitupun sebaliknya. Dia adalah panutanku. ya, siapa lagi jika bukan ayahku.

Dan di samping ayahku terdapat sesosok pria jangkung bertelinga caplang, tetapi tetap tampan dong. Bagaimana tidak, dia itu kan Kakakku, Kak Fahri. Jujur saja dia memang sangat manja jika sudah berdekatan dengan Mama, tetapi sama sekali tidak jika dengan Ayah. Kak Fahri dan Ayah itu sama, sama-sama keras seperti batu. Di saat Ayah marah pasti Kak Fahri turut marah, dan di saat itu jugalah Mama selalu siap pasang badan untuk Kak Fahri. Hmm, semoga untuk hari ini dan seterusnya Kak Fahri juga Ayah tidak akan bertengkar dan saling membuai amarah lagi ya.

Kini mereka sedang bersimpuh di depan gundukan tanah, tanah itu bertabur bunga dan terdapat nisan di atasnya yang tertulis, Maya Nur Permata. Mereka menangis histeris seperti hujan yang sedang turun sekarang ini, mereka kalut sampai-sampai pakaian yang dikenakan pun ikut kusut. Aku tidak pernah melihat mereka selemah ini, aku juga tidak pernah melihat mereka sehancur ini. Tuhan, tolong kuatkan mereka. Tuhan, kuatkan aku juga, ya?

Ingin sekali rasanya aku menghampiri mereka, memeluk, serta menenangkannya. Karena sepertinya, hanya akulah di sini yang terlihat tidak patah dan lemah. Namun, aku tidak diperbolehkan oleh perempuan baik yang ada di sampingku. Ia sedari tadi bersiaga memegangi kursiku, bukan. Bukan kursi biasa, ini adalah kursi roda. Aku tidak lumpuh dan aku bersyukur atas itu, hanya saja aku sedang diuji lewat penyakit yang ku derita. Sebelum Mama pergi, aku memang sempat drop. Aku dirawat di ruangan bernuansa putih dengan aroma obat yang pekat, aku benci tempat itu. Rumah sakit, di sanalah aku dirawat.

Baiklah tak apa, lagipula jika aku nekat yang ada Ayah dan Kak Fahri akan semakin kacau, bahkan mereka bisa gila nanti, dan aku tidak mau itu terjadi. Sudah dua puluh menit berlalu. Namun, mereka tetap saja enggan berpindah dari tempat itu. Sampai pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bersuara,

"Ayah, Kak Fahri, ayo pulang," jeritku.

Namun, mereka tidak mendengar. Bahkan perempuan baik di sampingku juga tidak mendengarnya. Aneh, tetapi tunggu dulu.

mengapa sekarang penglihatanku gelap? Dan,

Semuanya menghilang.

Terimakasih telah membaca chapter satu dari cerita ini, semoga kamu suka dan tetap mendampingi Habibi❣️
.
.
Salam manis, Habibi!

Salam manis, Habibi!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Be Like Water, HabibiWhere stories live. Discover now