prolog

148 33 0
                                        

"Nanti sore Mama nggak perlu jemput. Adek bakal pulang sama Om Jimin," ujar Kang Sunoo pada Ibunya, Kang Seulgi.

Perempuan dengan rambut terikat berantakan itu menghentikan kegiatannya mengemas bekal, dia mengerutkan kening kebingungan.

"Kok sama Om Jimin?" Tanya Seulgi, agak enggan menyebutkan nama laki-laki yang katanya hari ini akan menjemput Sunoo dari tempat les basketnya.

"Aku mau ketemu Om Jimin, jadi aku minta Om jemput aku," balas Sunoo enteng.

Seulgi menghela napasnya. Dia lantas berbalik menatap Sunoo.

"Jangan terlalu sering ngerepotin Om Jimin, kasian dia capek," kata Seulgi memperingati.

"Om Jimin hari ini free, Ma. Makanya aku minta jemput," balas Sunoo, "lagian kalo dia sibuk, aku juga nggak akan minta jemput kok."

Mungkin ini adalah bagian dari kesalahannya. Seulgi membiarkan putranya--Kang Sunoo, terlalu dekat dengan Pak Jimin sehingga anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu menjadi ketergantungan pada Jimin. Sama seperti Seulgi, yang sejujurnya selalu merasa kesulitan apabila dia berjauhan dengan Jimin. Biar bagaimanapun, sebagai seorang perempuan dia tetap membutuhkan sosok laki-laki yang bisa membantunya kapanpun dia membutuhkan. Laki-laki yang siap menjadi sandaran ketika Seulgi merasa lemah.

"Ya udah kalo gitu," balas Seulgi mengalah.

Tahu bahwa Mamanya berucap dengan sedikit terpaksa, anak laki-laki itu mendekat lalu menatap Seulgi dengan tatapan lucu.

"Ma, beneran nggak papa kan?" Tanya Sunoo pelan.

Seulgi menghindari tatapan hangat putranya. Dengan terpaksa, lagi-lagi dia mengangguk.

Ya, mau bagaimana lagi. Dia tidak mungkin berkata pada Sunoo tentang apa yang terjadi diantara mereka sehingga Sunoo harus pelan-pelan menjauhi Park Jimin. Mana mungkin anak itu bisa sementara Park Jimin telah menempati tempat di hati kecil Kang Sunoo.

"Beneran?" Sekali lagi, Sunoo memastikan.

"Iya," balas Seulgi, "tapi nanti sore Mama mau ke tempatnya Aunty Irene sebentar ya. Adek di rumah sendiri nggak papa, kan?" Lanjutnya, masih dengan usaha untuk menghindari Park Jimin karena Seulgi tahu, Jimin pasti akan mampir ke apartemennya sepulang dari tempat les basket Sunoo.

Sunoo mengangguk.

Lima detik kemudian, dia kembali bertanya pada Mamanya.

"Mama lagi ada masalah ya sama Om Jimin? Kok Mama menghindar terus?"

Seulgi meringis.

Harusnya dia paham bahwa Sunoo bukan lagi anak-anak. Dia pasti peka pada perubahan yang terjadi dalam hubungannya dengan Park Jimin.

***

Masih dengan rasa penasaran yang menumpuk setinggi gunung, sepulang dari les basket, Kang Sunoo kembali bertanya pada Park Jimin mengenai pertanyaannya yang tak terjawab oleh Kang Seulgi tadi siang.

"Kenapa?" Tanya Jimin, menyadari tatapan Sunoo ke arahnya.

Hari sabtu sore, pukul tujuh belas lebih sepuluh, kedua laki-laki itu tengah nongkrong di caffe tak jauh dari lapangan basket tempat Sunoo berlatih.

"Om sama Mama kenapa?" Sunoo bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan Jimin.

"Kenapa apanya?" Tanya Jimin lagi.

"Hmmm, aku ngerasa..., Om sama Mama sekarang udah agak..., menjauh. Om juga nggak pernah nginep di rumah lagi," kata Sunoo.

Berusaha untuk tidak hanya menyalahkan Jimin--karena laki-laki itu sudah tidak pernah menginap lebih dari dua minggu, maka Sunoo pun buru-buru kembali buka suara, "Mama juga selalu ngelarang aku buat ngerepotin Om."

"Mama emang bilang apa?" Tanya Jimin.

"Nggak bilang apa-apa sih, Om. Mama cuma agak.., gimana ya aku bilangnya. Kayak nggak suka kalo aku pergi sama Om, atau aku bilang aku pengin ketemu Om Jimin," kata anak itu, "Mama nggak mau aku terlalu ngerepotin Om Jimin."

Jimin terkekeh. Namun ada rasa perih yang tanpa sadar menggerogoti hatinya.

Barangkali benar. Dia harus berhenti sampai disini.

"Nggak kok. Om sama Mama baik-baik aja," balasnya, memilih untuk menyembunyikan semuanya dari Kang Sunoo.

Ya, semuanya.

Mengenai Seulgi yang menjauh.

Mengenai dirinya yang sudah merasa jenuh dan lelah.

Juga mengenai keputusannya untuk pelan-pelan menghilang dari kehidupan mereka berdua.

Sebagai manusia biasa, Park Jimin tentu memiliki batas. Dia rasa, enam tahun sudah cukup. Apa yang dia lakukan selama ini tidak membuahkan apa-apa.

Mungkin benar. Inilah waktunya.

Park Jimin menghela napas. Meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukanlah keputusan yang keliru.

***

Start by Starting - Seulgi x JiminOnde histórias criam vida. Descubra agora