1. Voz

337 241 270
                                    

Di persimpangan jalan itu,
Di tengah ramainya pikiranku.
Aku menyebut namamu,
Namun hanya sunyi yang kutemu.

***

“ZELMA!”

“ZELMA, SINI LO!”

“Apa?” Zelma yang tengah mencuci piring seusai pulang sekolah menyahut dengan suara tak kalah keras.

“KALAU DIPANGGIL TUH SINI, BUKAN MALAH BALIK TERIAK! NGGAK SOPAN!!”

“Iya.” Meskipun sebenarnya enggan karena urusan cuci piringnya belum selesai, Zelma tidak ada pilihan lain selain menurut. Ia menghampiri kamar Kakaknya— dimana dalam satu kamar yang sempit harus diisi tiga Kakak laki-lakinya.

“Kenapa?” tanya gadis itu setelah memasuki kamar Kakaknya.

Hanya ada satu cowok yang sedang rebahan di atas kasur. Itu artinya dua Kakaknya lagi sedang tidak berada di rumah.

“Pijitin kaki gue!”

Yang ini namanya Kalil, Kakak pertamanya yang baru berusia dua puluh tiga tahun. Dia sering memerintah seenaknya.

“Tapi aku lagi nyuci piring.”

“Ya dilanjut nanti, lah!”

Dan nggak suka dibantah.

Zelma mendengus tanpa sadar sebelum menuruti perintah Kakaknya, mendudukkan diri di sisi kasur dan mulai memijiti kaki Kalil.

“Abang udah makan?” tanya Zelma memastikan.

“Udah.” Jawabannya masih terdengar ketus.

“Nggak kerja?”

“Lo kira nyari kerjaan gampang?!” teriaknya. “Lo nih masih bocah, nggak usah banyak bacot!”

Zelma sudah biasa dibentak-bentak, sudah biasa disuruh-suruh, namun kadang dia tetap merasa sedih. Heran saja kenapa dia tidak pernah bisa akrab dengan ketiga Kakaknya ataupun tertawa bersama salah satu dari mereka.

Zelma tidak pernah merasakan yang namanya disayang oleh siapapun itu. Sama sekali tidak pernah sekalipun itu keluarganya sendiri.

Ketiga Kakaknya hanya lulusan SMA— mereka hanya kerja serabutan yang kadang hasilnya juga tidak seberapa. Mungkin itu yang membuat Zelma enggan berharap lebih meski sebenarnya dia juga ingin jadi sarjana.

“Diteken dong jangan cuma dipegang-pegang doang!”

“Iya.”

“Udah-udah! Ck.” Kalil menyingkirkan kakinya. “Nggak pernah bener Lo kalo gue suruh. Nih!” Dia beralih melemparkan kipas ke wajah Zelma. “Kipasin gue ampe gue tidur.”

Dia yang bilang Zelma tidak sopan tapi sendirinya jauh lebih tidak sopan.

“Udah rumah sempit, panas lagi bangsat!”

Zelma tidak menanggapi, lebih memilih berdiri agar bisa berpindah dan segera mengipasi Kakaknya. Namun noda merah di sprei kasur membuat tubuhnya terdiam sejenak sebelum terjerembab ke lantai karena dorongan Kalil yang cukup kencang.

“JIJIK GOBLOK!!”

Zelma hanya menunduk, memandang lantai dengan pandangan kosong. Sudah siap menerima sederet kalimat cacian yang biasa ia dengar.

“JOROK BANGET LO JADI ORANG!”

“LO ORANG APA ANJING, HAH?!”

Dia sudah biasa disama-samakan dengan anjing, tapi tetap saja tak kunjung terbiasa. Hatinya tetap sakit, apalagi yang meneriakinya Kakaknya sendiri. Orang yang masih sedarah dengannya.

Mengikis RasaWhere stories live. Discover now