Part 2

1K 37 0
                                    

Bali, 29 Juli 2010

Aku sedih, aku hancur, dan aku menjadi keping – keping yang tak bertuan. Lalu aku hanyut dibawa ombak dilepas pantai. Aku sudah dibuang, tak diperlukan, bahkan untuk sekedar berdiri disampingnya.

Apa sekarang ada yang salah dengan menertawakan hidupku sendiri?

Aku masih mengingat dengan jelas kejadian dimana aku merasakan kepalaku yang berlumur darah, hingga perlahan aku tidak sadarkan diri. Dan saat aku sadar aku telah berada di rumah sakit dengan kepala yang diperban. Selama seminggu aku tak sadarkan diri. Dan di hari selanjutnya, selama satu minggu penuh aku terus menanti David.

Ya, aku masih menantinya. Suamiku. Yang bahkan dengan tega membuat kepalaku bocor hampir kehilangan banyak darah. Aku terus menantinya, hingga kurasakan aku perlahan mulai putus asa. Aku terasa mati perlahan.

David berselingkuh. Dan itu artinya sudah tidak ada namaku lagi dalam doanya. Tidak ada lagi ikatan suci yang membuatku berarti lagi dimatanya. Karena aku telah diduakan. Ada yang lain.

Sejak saat itu pula aku menjadi buta dan tuli akan hidup. Aku tidak perduli pada hidup. Setiap hari yang kulakukan hanya diam tanpa suara, tidak menerima makan dari para perawat. Dan puncaknya adalah saat aku sudah tak bisa lagi mengekspresikan rasa sakitku dengan menangis.

Aku mengamuk, aku berteriak kencang sambil melempar barang barang yang bisa kujangkau. Aku tertawa dengan keras, namun meneteskan airmata.

Tidak ada yang kupikirkan saat itu, yang ku tahu aku hanya lelah, aku tak bisa lagi mengekspresikan rasa kecewa dan rasa sedihku. Aku tak bisa melampiaskan bagaimana rasa sakit hatiku yang teramat sangat. Aku kosong. Aku kembali menjadi nol. Menjadi tak tahu apa apa. Dan yang ada hanya rasa sakit yang semakin hari semakin menggerogoti, hingga kurasa aku telah berada pada titik minus.

Dan aku berakhir pada sebuah pusat rehabilitasi penyakit kejiwaan atas persetujuan David dengan rumah sakit.

Kurang rasa sakit pada bagian mana lagi? Aku sadar bahwa saat itu aku memang telah hancur. Aku telah dibuang.

Pada akhirnya aku hanya bisa tertawa dalam hati.

Aku gila. Aku tak diinginkan. Wajar saja.

David. Yang dulunya menjadi satu satunya tempatku mengeluh, tempatku bersandar namun nyatanya sekarang dialah membuangku.

Siapa sangka jika dirinya yang telah membuatku berakhir di rumah sakit jiwa.

Ya, aku memang gila. Gila karena percaya kepadanya hingga sedalam ini. Gila karena mempercayainya ketika semua orang meninggalkanku.

Gila karena percaya akan kata kata cintanya padaku dulu. Gila karena masih menganggap jika janjinya untuk bersamaku hingga tua akan selamanya benar.

Gila.

Aku memang benar benar gila karena mencintainya sedalam ini.

Aku terdiam. "Bagiku 'berakhir' adalah sebuah jawaban. Bukan sebuah pilihan. " ucapku lirih sambil menatap langit malam penuh bintang dari atas salah satu sisi gedung yang tak beratap.

Dengan sedikit keraguan yang muncul dalam tekadku, aku berjalan maju secara perlahan semakin ke tepian gedung tanpa penyangga ini. Hingga kurasakan kakiku telah menyentuh ujung tepian.

Aku mulai memejamkan mata. Tangan ini dengan sendirinya terangkat ke sisi tubuhku, layaknya sayap. Ku hirup udara sebanyak banyaknya, untuk terakhir kalinya.

Us. (EDITING!)Where stories live. Discover now