Part 1 : Hujan dan Ceritanya

70 28 48
                                    

"Ma, aku mau ke toko bunga, sekaligus jenguk Papa." Seorang perempuan muda terlihat menuruni anak tangga lantai dua. Kedua tangannya sibuk mengikat rambut panjang kecokelatan itu ke atas menjadi kunciran kuda. Sweater merah jambu dipadukan celana jin abu-abu panjang tidak terlalu ketat, dengan sepatu bot cokelat kayu setinggi mata kaki sudah melekat apik di tubuhnya.

Gadis itu turun menemui mamanya yang tengah menonton televisi di ruang tengah. Sedikit merapikan posisi poni jarang-jarang untuk lebih presisi. Mengalihkan perhatian untuk mengotak-atik ponsel persegi panjang yang baru saja ia ambil dari dalam sling bag kecil tersampir di bahu kirinya.

"Hujannya sudah berhenti, Nau?" tanya Ibu Nisa melihat sekilas anaknya, lalu matanya fokus kembali melihat layar televisi berukuran dua puluh empat inci di depan sana. Menonton sinetron kesukaannya yang tak pernah terlewatkan.

Kepala gadis itu mengangguk singkat. "Sudah, Ma. Kalau gitu, Naura berangkat ya."

Naura mencium punggung tangan Ibu Nisa. Tak lupa dengan mencium pipi kanan dan pipi kiri mamanya. Rutinitas wajib selalu ia lakukan jika hendak keluar.

"Kamu perginya sama Rifqi kan?" Ibu Nisa memastikan. Kini kepalanya menatap penuh anak gadis satu-satunya karena sinetron kesukaannya tengah iklan.

"Iya, Ma. Tapi sudah Nau telfon dan kirim pesan beruntun gak ada yang dibales. Dasar Kadal Rangunan!" Naura menggerutu kesal. Sementara Ibu Nisa tertawa saja.

"Kamu ini! Yasudah kalau perginya sama Rifqi."

Naura pun segera keluar dari rumahnya. Bibir yang terpoles libgloss merah ceri mengkilap itu tampak mengerucut kecil. Dilihatnya sekali lagi hujan ternyata belum sepenuhnya reda. Justru air yang menyerupai gerimis jatuh kembali dengan deras.

Naura berdecak. Ia malas jika harus mengambil payung di gudang rumahnya. Alhasil, dia memilih berlari saja menuju rumah Rifqi dengan jarak tempuh hanya beda dua atap. Naura menyilangkan tangan di atas kepala, kemudian berlari secepat kilat menuju teras rumah dengan dinding cat luar bewarna abu-abu muda. Kecipak genangan air di atas jalan memantul dari sol sepatu mengenai ujung celana. Naura melangkah lebar-lebar menerjang genangan hujan. Setelah sampai, gadis itu langsung melepaskan sepatu tanpa membungkuk, lantas masuk ke dalam rumah tetangganya.

"Assalamualaikum," sapa Naura pada seorang wanita di dalam sana. Naura mengembuskan napas pendek melihat wanita itu tengah menonton sinetron yang sama seperti mamanya.

"Waalaikumsalam," jawab wanita itu saat Naura mencium tangannya.

"Kiki ke mana, Bun? Nau telfon berkali-kali enggak diangkat. Dia sudah janji mau nemenin Nau ke tempat Papa," ujar Naura masih dengan cemberut kesal.

Terdengar helaan napas dari wanita itu. "Anak itu dari pagi belum bangun. Capek Bunda bangunin dia. Rifqi juga belum makan. Tolong kamu bangunin Rifqi ya, Nau."

Sepasang mata Naura kontan melotot mendengar pernyataan tersebut. "Buset, udah sore gini belum bangun, Bun?" kaget Naura. Dia langsung menggeram kesal. Pantas saja semua pesan dan panggilannya tidak mendapat sahutan sama sekali.

"Belum. Sepertinya dia habis begadang. Selalu seperti itu kalau akhir Minggu."

Naura menggelengkan kepala kecil. Kemudian berjalan naik ke lantai dua tempat kamar Rifqi berada. Rifqi sendiri adalah sahabat karibnya dari bayi. Bahkan, mereka sudah berteman baik sejak di dalam kandungan. Ibu Nisa dan Bunda Caca--bundanya Rifqi, hamil secara bersamaan. Kedua wanita itu memiliki hubungan yang sangat baik layaknya kerabat keluarga sendiri. Bahkan, mereka merintis bisnis pakaian berdua. Jadi, tidak heran jika Naura dapat keluar masuk rumah Rifqi tanpa permisi. Karena baginya, rumah Rifqi merupakan rumah keduanya. Naura dan Rifqi lahir di hari yang sama. Hanya saja Rifqi lahir lebih dulu dua jam dari dirinya.

HEARTACHEWhere stories live. Discover now