Chapter 4

12 6 5
                                    

Pagi hari yang seharusnya dipenuhi rasa semangat juga tubuh yang fresh kini merasa lelah. Bella baru bisa memejamkan mata pukul 4 dini hari dan sekarang pukul 6 dia harus sudah bersiap untuk pergi ke rumah sakit.
Berbeda dengan hari sebelumnya, itu sudah pasti.  Bella merasakan berat sekali untuk melangkah. Tunggu jangankan melangkah, untuk beranjak dari kasurnya saja Bella tidak mampu. Tapi bagaimanapun juga ini adalah tanggung jawab Bella. Bukan menuruti perjanjian sialan itu, tapi karena Bella bertanggung jawab dalam memimpin rumah sakit. Bella mencoba tidak peduli dengan perjanjian itu meskipun takut juga. Tapi biarlah, dia tidak mau memikirkan terus menerus—itu cukup mengambil waktu istirahatnya. Biar Bella lawan saja, toh kemarin bertemu saja Bella menimpal terus ucapan Samudra.
Bella sudah siap dengan kemeja putihnya dengan coat sebagai outer yang dipadukan dengan celana panjang berwarna cream, rambut sebahu yang ia kuncir ke belakang dan juga poni tipis yang menutupi keningnya menjadi tampilan cantik Bella hari ini. Jangan lupakan polesan makeup tipis yang menghiasi wajah cantik Bella. Bella melangkahkan kakinya keluar apartemen dengan helaan nafas berat. Oke kesialannya dimulai hari ini. Membelah jalanan dengan terus menanamkan keberanian dalam dirinya.
"Bagaimana dengan jadwalku?" tanya Bella saat berpapasan dengan Shafira.
"Tidak banyak," jawab Shafira menyamai langkah Bella yang cepat.
"Kenapa?"
"Kau berharap banyak orang yang sakit?"
"Bukan begitu, maksudku, agh lupakan," kesal Bella dengan memakai jas putihnya. Duduk bersiap dengan laptop yang ia nyalakan di atas meja.
Satu jam~
Dua jam~
Tiga jam~
Empat jam~
Hingga jam makan siang tiba, Bella tidak menemukan presensi Samudra sama sekali. Bella sudah selesai melayani semua pasien hingga waktu makan siang tiba, jadi setelah makan siang ia hanya akan fokus mengecek perkembangan rumah sakit.
"Ada yang kau pikirkan?" tanya Shafira karena sejak tadi Bella hanya mengaduk-ngaduk makanannya tanpa memasukkan satu sendok saja ke dalam mulutnya.
"Akh, tidak. Semalam aku hanya tidak bisa tidur dan itu berpengaruh pada pola makanku," elaknya untuk meyakinkan Shafira.
"Kau memikirkan tuan tampan kemarin itu?" godanya dengan menaik turunkan kedua alis.
"Diamlah! Dan makan!" kesal Bella yang memasukkan makanan pada mulutnya dengan kasar.
"Jika ada seseorang yang ingin bertemu denganku, kau jangan masuk untuk memberitahuku. Cukup telpon saja," jelasnya sebagai antisipasi.
"Baik ibu bos," hormatnya.
Mereka berdua makan dengan suasana hening, hanya suara dari beberapa pengujung yang menjadi pengiring. Shafira menyadari keanehan Bella yang tidak banyak berbicara hari ini seperti biasanya namun ia urungkan niat untuk bertanya, karena bisa jadi itu ranah privasi Bella yang tidak boleh diketahui Shafira.
***
"Ampun Tuan, saya janji akan membayar hutang saya." Duduk bersimpuh dengan terus memohon. Darah segar yang keluar dari pelipis juga hidungnya tidak menjadi hambatan sang pria tua untuk memohon belas kasihan.
"Aku bosan mendengarnya. Jika kau tidak mampu membayar. Jangan berhutang!" gertaknya.
"Saya janji akan memberikan apapun yang saya miliki, termasuk anak perempuan saya," negonya.
"Saya tidak butuh anak perempuanmu! Kau ayah macam apa? Sudah berhutang tidak mau membayar dan menjadikan anak perempuanmu sebagai gantinya. Kau memang pantas mati!" ucapnya enteng dengan duduk di kursi sambil bertumpu kaki. Pistol yang berada di tangan kanannya ia usap dengan penuh kelembutan.
Sepertinya Samudra tidak bisa konsisten dengan ucapannya. Dia mengatakan itu pada tua bangka di hadapannya. Tapi ia juga menerima tawaran itu pada pemilik rumah sakit. Sungguh lucu sekali.
Suasana yang begitu mencekam di dalam gedung terbengkalai ini, di selimuti kegelapan juga hawa dingin yang menyeruak membuat bulu kuduk merinding untuk siapapun yang ada di dalamnya. Terlebih lagi tua bangka di hadapan Samudra yang akan menemui ajalnya. Padahal di luar sana cuacanya sangat terik juga panas. Berbanding terbalik sekali. Mungkin karena penyebab ruangan ini yang akan menjadi saksi bisu matinya seseorang. Tua bangka ini awalnya berujar bahwa uang yang dipinjamnya ia gunakan untuk keberlangsungan perusahaannya yang mengalami kemerosotan namun nyatanya uang itu ia gunakan untuk berjudi.
Jadi sudah jelas Samudra sangat ingin membunuhnya, karena beda cerita dengan pemilik rumah sakit. Pemilik rumah sakit meminjam uang pada Samudra untuk pembangunan rumah sakit dan membeli beberapa peralatan, meskipun hutangnya belum lunas sama sekali. Tapi ia memberi keringanan dengan meminta Bella untuk menjadi dokter pribadinya.
"Sudahlah, kau menghabiskan waktuku dengan permohonanmu yang tidak berguna sama sekali," ucapnya dingin menghampiri pak tua yang sudah dirundung ketakutan.
"Ampun tuan, saya janji akan melunasinya beri saya w—“ ucapannya pak tua terhenti dengan dua suara tembakan yang berhasil melubangi kepala dan jantungya. Darah segar mengalir deras dari keningnya yang berlubang juga dadanya. Lantai yang sudah di lapisi plastik putih itu menjadi tempat untuk menampung darah yang bau anyirnya berhasil menyeruak ke dalam hidung.
"Bereskan!" perintahnya pada sang tangan kanan dan berlalu meninggalkan gedung terbengkalai.
"Dasar manusia tua, menyusahkan saja," sambungya dengan mengelap pistol yang tadi dipakai untuk menghabisi nyawa.
"Sekarang tujuan kita ke rumah sakit," ucap orang kepercayaannya yaitu Deri yang kini sibuk memainkan ipad melihat jadwal tuannya.
"Untuk apa?"
"Bukankah anda sudah membuat janji akan bertemu dengan dokter Bella saat ini?" ucapnya mengingatkan.
"Batalkan semua jadwal untuk beberapa hari ke depan, aku akan membuatnya sendiri dan memberikannya padamu lalu kau atur lagi jadwalnya," ucapnya tegas membuat Deri mengangguk paham.
Tentu saja Samudra tidak lupa, tapi untuk menemuinya di waktu ini membuat Samudra mengurungkan niat dan lebih memilih untuk kembali ke mansion mencari ketenangan. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Samudra, bukan bermaksud untuk kabur karena itu sama sekali tidak ada dalam kamus hidupnya tapi Samudra juga seorang manusia yang membutuhkan waktu untuk menyendiri.

***

Bella masih setia mengerjakan tugasnya tanpa terasa waktu sudah menunjukkan untuknya kembali menuju apartemen. Melihat handphone dan tidak ada ada satupun notifikasi masuk dari siapapun. Bella melangkahkan kakinya menuju kaca besar di sampingnya, menatap keluar bagaimana senja jingga menghiasi langit dan burung yang terbang beriringan menjadi pemanis suasana sore ini.
Rasa takut dan gelisah berhasil mengambil seluruh tubuh Bella di hari ini. Pikirannya kalut dan was-was akan hadirnya seseorang. Katakanlah Bella menunggu Samudra hadir namun bukan rasa antusias melainkan waspada berlebih sehingga itu menjadikan aktifitasnya di hari ini kurang efektif.
'Pekerjaanmu telah selesai, pulanglah dan istirahat. Kau tidak perlu khawatir.’
Bella membereskan barangnya dan kembali mengganti jas putih dengan coat yang menggantung dengan setia di tempatnya. Perasannya makin campur aduk karena menurutnya masalahnya ini tertunda, andai saja Samudra datang hari ini Bella pasti tidak akan gelisah seperti saat ini karena mungkin tujuan Bella hari ini untuk bernego kembali dapat menemukan titik temu yang sedikitnya menguntungkan untuk Bella.


















To be Continue~

My Sweet MafiaWhere stories live. Discover now