KAMU DAN KENANGAN

11 2 1
                                    

Pagi ini Abimana memutuskan untuk merapikan ruang kerja yang sudah terlihat messy, sudah banyak dokumen dan kertas berserakan. Majalah - majalah yang sudah enam bulan ini terbit, mulai dia singkirkan satu per-satu. Tak betah rasanya melihat ruang kerja yang mulai acak-acakan.

Meskipun ada office-boy yang membersihkan, tapi sepertinya mereka kurang detail. Maka ia langsung mengambil lap micro fiber yang sengaja disimpan di dalam laci meja kerja, lalu Abimana mulai membersihkan segala yang dianggapnya berdebu dan mem-benarkan letak semua barang yang menurut dia tidak pada tempatnya.

Pada saat membersihkan rak buku, dia juga tak lupa merapikan letak buku-buku yang terlihat agak miring, tiba-tiba dengan tak sengaja satu buku terjatuh, bersamaan dengan itu selembar foto yang sudah lama terlupakan menyembul keluar.

Segera dia membungkukan badan untuk mengambil foto tersebut. Lama dia memerhatikan foto itu. Senyumnya mengembang mengingat kenangan indah kala itu. Namun, sejurus kemudian senyum itu berubah menjadi senyuman getir.

"Alexa, Neyla, Nanda, Karisma, Bara, Zia dan Aku," gumamnya pelan. Tercekat.

Melihat foto itu membuatnya kembali menyambangi kenangan yang dengan susah payah ingin dia kubur. Ingin dia hapus.

Momen itu, momen ketika foto itu diambil kembali meretas ke udara dan memerangkap kisah. Rasa getir itu kembali hadir bersama dengan segala kenangan.

Degup jantungnya kian cepat, melihat sebentuk wajah yang bisa dibilang cantik dengan senyum manis, meskipun terlihat modis namun wajahnya polos tanpa make up, bibirnya-pun berwarna samar hanya karena lipgloss-nya yang berwarna soft red. Mata bulatnya yang memancarkan keramahan dan keceriaan, juga pipi chubby-nya yang bersemu merah karena terpapar sinar matahari yang cukup terik kala itu, membuat segala rasa yang dia simpan berdesakan dan memberontak keluar. Dia kira segalanya telah usai, dia bahkan mengira kalau rasa itu telah mati.

"Ternyata kamu masih di sana. Ternyata dan ternyata ... cinta ini masih ada," bisiknya lirih pada diri sendiri.

Abimana kembali merapikan semua, namun foto itu kini dia letakan di meja kerja. Tepat jam sebelas siang, dia kembali menyentuh foto itu sambil duduk melepaskan lelah. Hari ini sebenarnya bukan hari kerja, hanya saja kantor mengadakan meeting dadakan untuk membahas penerbitan majalah berikutnya. Entah mengapa di menit terakhir tema fashion yang akan diangkat sebelumnya berubah total, namun setelah rapat itu selesai Abimana malas kembali ke apartemen.

Pikirannya melayang antara pekerjaan dan kenangan. Foto itu kembali diraihnya, kemudian sekali lagi dilihatnya. Menimbang dengan seksama lalu Abimana menyambar ponsel yang terletak di meja, membuka kontak, mencari nama yang sebenarnya sudah lama ada di sana tapi, jarang untuk disapa. Namun, hari ini dia ingin menelponnya, dia ingin mem-perjuangkan kembali apa yang sudah dia abaikan. Tidak, bukan abaikan tapi, dia buang.

Seperti terbangun dari tidur panjang, sekarang dia ingin memperjuangkan-nya. Tidak perduli terlambat atau tidak, setidaknya dirinya harus berani mencoba sekarang. Cukup rasanya menjadi pengecut beberapa tahun belakangan ini, dia tidak ingin lagi setiap kenangan tentang gadis itu menyentuh hati-nya dan membuat dia ingat betapa pecundangnya dia kala itu. Hati-nya selalu saja terasa seperti ditikam belati berkali-kali. Sekarang dia ingin menyudahi penyesalannya, lalu dia memutuskan untuk menelepon-nya. Ya, dia memutuskan untuk menelepon Bara untuk menanyakan kabar wanita itu, Zia.

"Mudah-mudahan nomornya belum ganti," gumam Abimana.

***

Baru saja Bara akan memasukkan chicken sandwhich-nya ke dalam mulut, namun terhenti karena melihat ada panggilan di ponsel. Saat ini posisi Bara berada di tengah laut, dan sedang ada pengeboran baru dari perusahaan tempatnya bekerja, sinyal adalah sesuatu yang mewah.

"Halo ...," terdengar suara di seberang sana, suara yang sepertinya cukup dikenalnya.

"Yes, halo ... Abi bukan?" tebak Bara

"Yeah, this is me, man ..."

"Hei ... How are you there?" jawabnya dengan nada suara yang sengaja dibuat riang.

"Kabar baik. Alhamdulillah. Lo apa kabar Bar?"

"Buruk."

"Hah, buruk? Kenapa?" tanya Abi sedikit lebih hati - hati.

"Karena gagal gigit chicken sandwhich gue, laper nih. Sambil makan ya," sambil terkekeh Bara menjawab Abi.

Abi langsung ikut terkekeh mendengar jawaban Bara. Hampir saja dia mengira kalau teleponnya lah yang mengganggu.

"So, kenapa nih, Bi? Lo kangen sama gue? Apa kangen sama yang lain nih?" candanya sekilas. Ada perasaan tak nyaman sebenarnya namun segera dia abaikan.

"Hm ..."

"Hm ... apa? Makin yakin gue jangan-jangan lo emang beneran kangen sama gue, sampai susah gitu, sih ngungkapinnya."

Abi tertawa terbahak-bahak mendengar celoteh Bara. Karena memang dia masih suka bercanda.

"Gila kali gue kangen sama lo... iiihh ...!!" Dipta mengimbangi Bara sambil terbahak, terdengar gelak tawa juga di seberang sana.

Setelah puas berbasa-basi, Bara tercenung sejenak sebelum akhirnya mengambil nafas yang cukup panjang dan membuka kembali percakapan dengan Abi.

"Lo kangen dia, ya?" Tanya Bara dengan nada yang serius kali ini. Membuat lawan bicaranya berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan itu.

"Ya," ucap Abi pendek namun pasti.

Bara hanya tersenyum mendengar jawaban itu, jawaban yang seharusnya bisa dia katakan pada wanita yang sudah setengah mati jatuh cinta serta menahan rindu untuknya.

"Jadi, sekarang lo udah sanggup untuk jujur sama dia?" Tanya Bara.

"Ya."

"Gue nggak tahu ya hasilnya bakalan apa, cuma kalau lo memang mau ya, lo susul dia aja untuk menunjukan penyesalan dan kesungguhan lo."

"Okay, I'm ready."

"Okay, sekarang dengar gue baik-baik ya."

"Okay."

"Man, waktu itu dia pernah pesen sama gue begini kalau dia sangat jatuh cinta sama lo, bahkan di hari terakhirnya dia masih punya perasaan yang sama, dia berharap kalau lo tahu segala rasa yang dia punya untuk lo, hanya saja dia nggak sempat menyampaikannya secara langsung, dia minta maaf untuk itu dan harapan terbesarnya adalah lo bisa hidup bahagia, dengan siapapun pasangan lo kelak."

"Maksud lo apa?"

"Bi ..., gue kehilangan kontak lo begitu juga Zia ... gue ... gue nggak tahu harus mengabari lo dari mana dan apa tentang kematian Zia hari itu."

Abimana tertegun dengan kalimat Bara barusan, tubuhnya terasa seringan bulu yang akan terbang begitu tertiup angin. "Lo becanda kan? Lo sengaja mau nge-prank gue ya?" ucap Abi dengan suara yang canggung.

Tidak ada jawaban dari Bara hanya helaan napas berat, Bara-pun berusaha mengendalikan emosi yang sarat dengan kesedihan di dalamnya, sementara dari seberang telepon mulai terdengar isak tangis yang semakin lama semakin jelas.

"Abi ... doakan aja yang terbaik buat Zia ..."

Kita tidak akan pernah menyadari betapa berartinya seseorang di dalam hidup kita sebelum kita kehilangan mereka sepenuhnya, lalu pada satu momen itu, momen kehilangan itu membuat hidup kita jungkir balik namun segalanya telah terlambat, begitulah caraku mengenangmu. Kini, hanya selembar foto ini saja yang bisa aku lihat sesering mungkin karena di foto ini, hanya di dalam foto ini senyummu masih dapat kulihat.

"Maafkan aku, Zia ... maafkan aku ...," bisik Abi lirih.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang