Ia menggosok wajah. Suara hembusan napasnya terdengar.

"Kamu tuh kayak ... gimana, ya." Aku tertawa. "Polos dan ngeri di satu waktu? Seolah kamu baru pertama kali deketin cewek, padahal jelas itu nggak mungkin. Tapi, apa pun itu, siapa pun kamu, kita tetep beda, dan jangan. Jangan kasih kesempatan buat apa pun ke depannya. Aku nggak mau gambling buat yang satu ini."

"Itu yang lagi aku cari jawabannya. Aku kenapa? Kamu kenapa?"

Jelas, jawabannya membuatku bingung.

Bagaimana mungkin dia bertanya apa yang dirasakan padaku? Malah bertanya aku yang kenapa? Bukankah di sini dia yang seolah menjadi orang baru, atau mungkin ini lah dia yang sebenarnya.

Memang aneh.

"Aku tahu ini nggak baik, tapi aku selalu merasa bersalah sama orang-orang yang hidupnya ... sori." Ia tak melanjutkan, tetapi aku paham maksudnya. Dia merasa kasihan untuk orang-orang yang hidup kekurangan atau ya ngepres banget kayak aku ini. "Tapi sebelumnya mudah kok, aku bisa handle dengan berbaik hati ke mereka. Aku kasih mereka semampuku, aku mencoba menjadi manusia yang memanusiakan manusia."

Aku mengangguk, masih bersedia mendengarkan kalimat-kalimatnya.

"Tapi ...." Dia diam.

"Tapi?" tanyaku tak sabar.

"Tapi ke kamu, aku tau ada yang ... beda? Atau menurutmu mungkin salah. Atau apa pun itu. Aku juga sebenernya takut ini cuma rasa kasihan. Tapi, harusnya aku nggak perlu sedih berkali lipat setiap lihat kamu kerja dengan semangat." Oh Bi ...! Kalimatnya membuatku mulai tak suka. "Aku nggak perlu sedih atau merasa bersalah sampai rasanya nyeri tiap lihat kamu makan dengan semangat. Aku nggak perlu merasa pengen nangis dan nyalahin diri sendiri setiap liat kost-mu."

Jadi, itu maksudnya? "Aku nggak butuh dikasihani."

Dia jahat.

Merendahkanku.

Memperjelas kalau statusku memang di bawahnya.

"Ya." Dengan cepat dia menahanku yang sudah mau berdiri. "Waktu diceritain semua tentangmu sama Erlyn, aku punya bayangan sosok kamu di kepalaku." Dia tertawa pelan. "Sosok cewek yang ceria, strong, berprinsip. Itu bikin aku semangat dan percaya diri buat ngobrol sama kamu dengan mudah."

Aku tak mau menatapnya.

"Dan, hari pertama kita ketemu, kamu memang seolah ngeiyain semua visualmu di bayanganku. Kamu berani." Ia memberi jeda sedikit. "Tapi, hari-hari berikutnya, apalagi aku punya kesempatan liat kamu sesering mungkin di sini, aku seolah lihat sosok lain. Sosok yang sedang memikul beban besar. Sosok yang kesepian. Yang ... well, aku sok tahu. Terbawa suasana. Kamu nggak gitu, mungkin."

Aku mengedipkan mata cepat, berharap tidak meneteskan air mata, sedikit pun. "Bukan kah tiap orang memang menanggung beban masing-masing?

"Ya. Betul."

"Terus? Kenapa seolah nggak boleh kalau aku punya beban?"

"Aku ... belum pernah tertarik sama perempuan yang begini, to be honest. Pacarku dulu, atau gebetanku dulu, nggak pernah pengen libur dengan tujuan buat cari uang tambahan. Nggak pernah sibuk mikirin tips buat bikin sayuran balik seger. Nggak pernah ...." Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Berhenti berbicara beberapa detik.

Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.

"Ini bikin aku juga bingung. Perasaanku dulu ke perempuan yang aku suka, adalah happy. Makanya aku takut, ke kamu cuma rasa kasihan. Tapi beda sama kasihan ke Hera, ke anak-anak lain. Aku juga nggak tahu, Gree."

Hufffffttttt.

Aku mengembuskan napas kuat-kuat. "Jadi, maksud dari semuanya adalah ... kamu minta dikasih kesempatan buat membuktikan perasaan apa sih yang kamu punya buat aku?" Dia tak menggeleng atau pun mengangguk. Hanya menatap. Aku memberi tawa miris. "Well, kalau itu cinta, woah keren banget. Cowok tajir nan baik akan mengubah nasib gadis miskin." Aku melihat ekspresi baru di wajahnya, tatapan tak suka. "Kalau itu rasa kasihan yang banget banget banget? Woah, gimana tuh? Bubaran? Di saat mungkin aja pas momen kamu menyadari itu, aku udah cinta kamu?"

"Greesa ...."

"Bi, ini nggak akan berhasil. Aku nggak mau dikasihani siapa pun."

Dia diam.

"Dan, kalaupun aku harus jadi orang pesimis buat nyelametin diriku sendiri, aku bakal tetap lakuin."

Mengibaskan tangannya, aku meraih ranselku dan berjalan ke arah pintu. Memang seharusnya ak pergi dari tadi. Oh ke mana pula Hera .... saat pintu sudah terbuka, Hera dan dua orang teman kerjaku nyaris tersungkur.

Jadi, dari tadi mereka di depan pintu? Maka, nikmatilah drama semu itu!

Panggilan mereka kuabaikan.

Rasanya, aku mau keluar kerja. Tapi perasaanku belum sepadan dengan nasib keluargaku jika aku memilih meninggalkan semua ini.

Ya Allah, please, hidup kok begini banget.



---

Hai hai, sekarang update-nya malah jadi malem yaa lol. 400 komen buat part depan bisa gaaaaa?🤪


katanya, cinta banyak caraWhere stories live. Discover now