satu

10.2K 2.8K 476
                                    

Aku pernah ada di titik terendah.

Saat sedang senang-senangnya menjalani semester 3, tiba-tiba Bapak kecelakaan dan meninggal di tempat bersama pengendara lain yang juga mengalami kecelakaan tersebut.

Saat itu lah, aku tahu kematian Bapak bukan puncak penderitaanku. Rentetannya jadi panjang. Aku jadi mengerti betapa pentingnya seorang perempuan bisa menghasilkan uang dengan tangannya sendiri meski sudah menikah. Karena setelah Bapak meninggal, semua ikut hancur.

Uang yang tersisa tak sanggup untuk meng-cover hidup kami selamanya. Hingga akhirnya, aku sebagai yang 'terlihat' sudah tua, harus mengalah . Anak pertama harus bisa berpikir lebih maju. Anak pertama harus bisa menyelesaikan masalah keluarga. Menjadi pionir, menjadi dampak, dan menjadi contoh.

Meski rasanya sangat-sangat tidak rela, aku terpaksa harus berhenti kuliah. Aku harus mencari kerja dan semua gaji tidak boleh terbagi untuk banyak hal.

Yang kutahu saat itu, bagaimana caranya Ibu bisa tetap bayar listrik, memasak makanan dan Adhya tetap sekolah.

Hingga akhirnya perjalanan pekerjaanku agak manusiawi setelah aku bertemu Kak Erlyn. Restoran miliknya ini kusebut sebagai salah satu bentuk charity aja, dia kayaknya nggak peduli pemasukannya berapa.

Meski sangat ramai, dan aku tetap yakin sih uangnya banyak.

Itu bukan urusanku.

Selain memberiku upah yang layak dengan pekerjaanku, Kak Erlyn juga tahu aku sangat membutuhkan uang. Dia sering 'pura-pura' tak bisa melakukan sesuatu dan memintaku yang melakukannya, tentunya dengan diberi upah.

Literally apa pun.

Antar sepupunya ke mana kek. Beliin ponakannya apa kek. Membelikannya keperluan apa kek.

Apa pun yang menghasilkan uang, yang legal dan halal.

Setelah dia meminta tolong, dia pasti mengirimiku sejumlah uang. Sampai kadang-kadang, aku harus mentransfernya balik. Meski aku suka uang, tetapi aku tetap manusia yang punya hati nurani. Tak semua tindakanku memerlukan bayaran materi.

Nah, untuk yang satu ini, aku nggak tahu, harus dimasukkan dalam list berbayar, atau free.

Maksudku, biasanya, kalau menemani salah satu sepupu bocil-nya Kak Erlyn, aku tidak selalu mau dibayar. Kadang bermain bersama mereka menyenangkan. Karena mereka belum benar-benar mengerti kehidupan, jadi terlihat sangat murni dan itu sedikit memberi rasa tentram.

Kalau yang ini ... sudah kolotan.

"Kamu yakin nggak mau coba?" tawarnya, yang sudah kutolak entah berapa kali.

Aku tidak suka orang keras kepala yang tak tahu kondisi.

Aku tersenyum sopan, menggeleng.

"Ini enak, lho," rayunya, masih mencoba keberuntungan. "Wajar sih ini jadi signature. Yakin ini resep dari Erlyn?"

Aku mengangguk.

"Keren juga dia."

Diamlah dan cepat habiskan makananmu, Tuan. Semoga Kak Erlyn juga cepetan datang, aku mau kembali kerja.

"Berapa lama kerja di sini, Gree?"

"Gree?" Aku memicingkan mata, panggilan apa lagi itu, Tuhaaaan? Dia malah tertawa pelan. "Namaku Greesa, Mas. Gris aja kalau susah."

"Justru saking mudahnya, aku perlu sedikit mainin kosa katanya. Namamu bisa jadi banyak penggalan dan itu keren."

Oh, aku tidak suka lelaki yang banyak bicara.

katanya, cinta banyak caraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang