tujuh

7.4K 2K 566
                                    

"Lo yakin nggak ada sesuatu yang ganggu pikiran lo ... atau?"

Pertanyaan yang sama entah sudah keberapa kalinya dilontarkan oleh Hera. Hari ini kami ada di shift barengan. Awalnya, dia seperti tidak merasakan apa-apa, dan aku sempat bangga dengan skill-ku bersikap 'everything is fine'. Ternyata, setelah kami banyak interaksi, yang padahal kebanyakan tentang pesanan pengunjung, dia malah seolah menyadari kegundahanku.

Dari situlah, dia kebingungan.

Katanya, aku memang terlihat biasa aja, normal seperti hari-hari lain. Namun, ketika dia menatap mataku, dia tahu ... something is wrong.

Bahaya anak satu ini.

Atau ... karena memang aku yang sudah tidak bisa mengendalikan diri?

"Sini biar gue aja." Hera menyambar tray dari tanganku. "Lo nanti lama-lama terbang tembus atep kalau dibiarin. Cuci muka sana, tenangin diri di belakang. Bentar lagi jam balik, gue susul."

Aku menatapnya penuh haru. "Thanks."

Mengembuskan napas kencang, aku berjalan meninggalkan dapur setelah menepuk pundak Bang Fatur (salah satu koki di sini). Setelah merasa lebih segar dengan mencuci muka, aku memilih duduk di ruang khusus staff. Sendirian.

Menyangga kepala yang seolah terasa sangat berat.

Inilah kenapa aku tidak pernah suka mempunyai hubungan lebih dengan teman, relasi, atau apa pun yang ujungnya drama begini. Mendingan beneran dari stranger, kenalan dengan niat spesial, jadian kalau memang cocok, pergi langsung kalau memang tidak berhasil.

Itu dulu.

Sekarang, aku merasa sedang tidak ingin terlibat dalam hubungan romansa. Kepalaku sudah penuh dengan kehidupan pribadi. Sampai akhirnya Kak Erlyn membawa sepupunya yang bernama Birendra itu. Yang bukan tipeku ... di awal ketemu. Lama-lama, aku merasa dia tidak layak untuk tiba-tiba kusebut bukan tipeku.

Dia sangat-sangat memukau.

Satu-satunya alasan yang masuk akal mengatakan bahwa dia bukan tipeku adalah karena aku yang tidak layak untuknya. Tidak pantas.

Dan, sekarang sudah seminggu Birendra tidak ke Eat Me. Tidak bertemu denganku. Tidak datang meski hanya sebentar, tengok-tengok seperti biasa. Semua diatur oleh Mbak Aliza, manager dan ... mungkin sudah menjadi satu-satunya kepercayaan Birendra.

Jujur, aku senang tak melihatnya.

Itu yang kuharapkan supaya semuanya tak menjadi canggung. Tetapi, sama sekali tak tahu kabarnya juga aneh. Lebih tepatnya, aku merasa bersalah. Ya, ketika mengatakan semua kalimat penegas hari itu, aku merasa aku benar. Tak perlu ada kata maaf sebagai pengantar atau penutup.

Anehnya, kenapa aku merasa tak lega? Seolah aku sudah melukai orang paling suci sedunia dan aku lah penjahat?

Wajarkah perasaan bersalah ini?

Argh!

Handphone-ku di loker berbunyi, menandakan sudah waktunya jam pulang. Tapi, Hera belum juga ke sini. Pasti jam nanggung. Detik-detik terakhir, dia harus mengantarkan sesuatu atau mencatat pesanan. Tanggung yang kampret, katanya.

Jadi, aku mulai menyiapkan diri, melepas apron dan memasukkan ke dalam loker, aku memastikan semua barangku sudah masuk ke dalam tas. Aku memutuskan untuk menunggu Hera sebentar lagi, dia pasti nelangsa kalau nggak ditungguin.

Scroll Instagram biasanya mempercepat waktu, jadi aku melakukannya. Melihat segala bentuk postingan manusia. Entah yang memotivasi, sharing kebahagiaan, meluapkan kemarahan, dan lain-lain. Hingga akhirnya, aku mendengar suara pintu diketuk, tetapi aku abaikan karena pasti orang iseng.

katanya, cinta banyak caraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang