Bab 37 : Code fragments

405 34 1
                                        

Mata Arvi mengamat ke sekitar, memperhatikan sisi rumah Naila dengan jelas tanpa ada yang terlewatkan sekalipun, sepulang sekolah ia dan gadis itu memang ingin menghabiskan waktu bersama.

Namun sebenarnya, tujuan utama Arvi adalah mengecek situasi dan kondisi sekitar, barangkali ada sesuatu yang ia lewatkan.

“Eh, ada pengamen. Masuk, Mas!” kata Naila sambil tersenyum manis di depan pintu. Arvi mengubah rautnya kemudian tersenyum.

“Pengamen mana yang gantengnya kayak gue?” tanya Arvi, ia menyerahkan sekantong snack yang sengaja dibeli untuk gadis itu.

“Ya itu elo sendiri pengamennya.” Keyla menerima serahan Arvi, keduanya pun segera masuk. Untung, Lola sudah menyiapkan minuman dan kue untuk tamu Naila kali ini.

“Gue pengen langsung lihat barang-barang pemberian orang itu,” ucap Arvi sesaat setelah duduk di sofa sambil mengambil segelas jus yang tersedia. Naila menyengir sejenak.

“Oh ada, tapi di kamar gue. Ayok ke sana!” ajak Naila membuat Arvi spontan terbatuk. Gadis itu seketika panik. “Lo kenapa, Vi?”

“Gapapa, cuman keselek lidah.”

“Ha? Lidah?” beo Naila. “Ish, gajelas banget lo jadi cowok. Ayok buruan ke kamar!”

Arvi mengangguk segera berdiri. “Iya, lagian nggak ngapa-ngapain, ‘kan kita di sana? Gue takutnya lo brutal.”

Naila merapatkan gigi kesal.”Otak lo yang brutal, bercanda mulu sih Arvian.”

“Iya-iya.” Arvi mengekori Naila menuju ke kamar gadis itu, sepanjang jalan mengamati setiap sudut ruangan, cctv bertebaran di mana-mana, pembantu rumah yang stay dan lalu lalang, tentu membuat Naila seharusnya merasa aman.

“Jadi, dia itu ngirim gini. Ada dua tipe, yang satu ngirim bunga mawar hitam dan yang satunya ngirim kepala kelinci atau yang berhubungan dengan kelinci gitu, sama foto dan kode sandi,” beritahu Naila setelah membuka pintu kamarnya, dia segera mengambil kotak-kotak yang sengaja disimpannya.

“Kalau orang yang neror lo ciri-cirinya gimana?” tanya Arvi.

“Yang satu pakek topeng kelinci, dia ini yang main tangan sama gue. Terus, pernah juga gue ketemu sama seseorang yang mencurigakan, pakaiannya serba hitam, cuman ngelihat aja gak sampai ngelakuin kekerasan sama gue,” jelas Naila membuat Arvi mengangguk.

Tangan lelaki itu mengambil berbagai foto yang sudah kering dengan bercak merah, bunga mawar yang sudah layu, dan beberapa kertas yang tertulis dengan tinta merah meminta untuk dipecahkan kodenya.

“Jadi, dua orang?” Naila mengangguk.

“Iya, kalau menurut gue dua. Satu lagi, ada rumah di belakang sekolah. Gue pernah ke sana, terus disusul sama Albar, tiba-tiba ada busur yang datang nggak tau dari mana,” lanjut Naila bercerita.

Arvi terpaku di tempat,”Sialan, ini udah terlalu jauh Naila.”

“Gue tau, tapi gue sendiri nggak tau gimana nanggepin ini semua,” balas Naila dengan wajah lesu. Ia terduduk di lantai menatap semua barang pemberian itu. “Satu lagi, gue udah berapa kali blokir nomor misterius tapi tetap ada yang terus menerus chat gue.”

Cukup, penjelasan Naila membuat Arvi paham. Naila adalah orang penting bagi peneror, ada sesuatu yang membuat gadis itu dijadikan incaran.

“Lo punya musuh?” Naila menggeleng. “Atau semacamnya?”

“Gak ada, tapi kata Denio bisa aja orang terdekat gue punya musuh tapi sasarannya ke gue,” tutur Naila, raut wajahnya begitu khawatir.

“Papa lo atau mungkin ayahnya Rey punya musuh, karena tau lo anak perempuan sendiri, makanya dijadikan sasaran,” ujar Arvi dengan yakin.

MIXTURE! (About Secrets)Where stories live. Discover now