Part III - pemaksaan

24 1 0
                                    

Gila! Ini sungguh gila! Mana ada anak SMA melajukan motornya hingga 115 dijalan biasa? Ya kecuali anak ini, Stefano Bastian. Ia hampir membuat jiwaku tertinggal di tempat teman temannya berkumpul tadi.

"David?"

"Hah?" Aku bahkan tak sadar sudah memeluknya sepanjang perjalanan. Tak lagi lagi aku ingin diboncengnya. Aku lebih baik naik mobil dengan kecepatan lambat daripada naik motor dengan kecepatan secepat itu tadi. Hih.. no more.

"David, siapa itu?"

"Oh.. ibu? Dia Stefano Bastian. Kakak kelas David," muka ibu menunjukkan kecurigaan. Ibu, ayah, adik, dan kakakku tak ada yang tau aku gay, tapi mereka berasumsi aku gay karena aku pernah sekolah di all boy school. Ya memang homo.

Katanya sekarang lagi marak sekali anak anak di all boy school menjadi gay karena tak ada teman perempuan untuk dijadikan pacar. Jujur, teman temanku dulu juga ada yang gay, ada yang pacaran juga. Mereka cukup langgeng sebelum sekolah mengetahui hubungan mereka lalu mereka dipaksa untuk memutuskan hubungan, tapi semua itu tak menghentikan mereka untuk terus berhubungan. Salah satu dari mereka juga pindah bukan ke sekolah yang sama denganku dan katanya mereka berpacaran secara diam diam.

Aku juga hampir menyukai kakak kelas, lalu aku dipindahkan. Ya memang hidup harus terus dijalani.

"David? Bawa masuk gih. Jarang jarang kamu punya temen kakak kelas. Bisa juga dia ngajarin kamu."

"Eum.. saya ips, tante. Di kelas David tidak ada ekonomi atau sebagainya."

Ia benar, dikelasku tak ada pelajaran ips, begitu juga sebaliknya. Kita disuruh memilih tambahan pelajaran yang kita inginkan. Aku memilih bahasa Jerman dan Sastra Inggris. Ya aku suka pelajaran bahasa. Selalu dapat 90 keatas untuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Aku berjalan kekamarku untuk mengganti pakaian. Besok hari kamis, menggunakan baju khas sekolah Dwiyata dengan setelan blazer berwarna putih dan celana berwarna krem. Aku tak sabar memakai seragam ini. Aku menyukai seragam hari kamis. Sayangnya hanya kamis. Hari senin hingga selasa putih biru, rabu batik, kamis blazer, jumat pramuka. Huft.. aku hingga memiliki tumpukan baju seragam.

"David, kok Stefanonya ditinggal," ucap kak Stefano.

"Siapa yang memperbolehkan kakak masuk ke kamarku?"

"Ibu lo. Hehe. Lo ninggalin gue di ruang tamu tadi, trus ibu lo nyuruh gua masuk kekamar lo," ia duduk diatas kasurku sambil menatap sekitar kamarku.

Ia menatap seluruh kamar dan tatapannya berhenti padaku, "apa yang kau tatap?"

"Kau cukup tinggi ternyata. Kau tetap terlihat pendek disampingku," ia berdiri didekatku dan mengukur tinggi kita berdua. "Ya, kau memang pendek."

"Aku 171!"

"Heum? 171? Mosoookk?"

"Iya!"

"Hm? Mosoookk?"

"Diam!"

"Ehehehe.. iya iya gue diem."

Aku melepas seragamku didepannya, aku sudah terbiasa mengganti pakaian didepan siapa saja. Tak tau malu juga aku tak malu menunjukkan tubuhku yang memiliki sedikit otot ini.

"Pffftt pip pup.. ahahahaha."

"Apa yang kau lakukan?!" Aku masih tak percaya ia menekan tempat yang penuh lemak diperutku.

"Lucu.. ahahahaha."

"Kakak pulang saja sana, saya mau mengerjakan tugas."

"Ayo ngerjain bareng."

My upperclassman!Where stories live. Discover now