Tolong Cari Pembunuhku

24.7K 2.1K 345
                                    

"Ada apa lagi, Mita?" tanya Pak Kosim.

"Salah," ucap Mita lirih.

"Salah?"

"Bukan lewat sini."

Pak Kosim menepukku, yang daritadi melihat ke lain arah. "Katanya belok kanan. Gimana sih, Dek," protesnya.

"Kan bukan kata saya, Pak. Tapi kata ibu yang di warung tadi," sahutku masih mengarahkan pandangan ke dashboard.

"Ya sudah. Bapak putar arah, Ya? Kamu jangan ganggu lagi. Kasian adek ini, ampe ketakutan," ucap Pak Kosim pada Mita.

Pak Kosim memutar mobilnya. "Udah pergi, Pak?" tanyaku.

"Sudah."

Aku melirik ke kaca depan. Mita sudah tidak ada di belakang.

Kami pun melanjutkan perjalanan.

Dug!

Suara itu kembali muncul, saat mobil di hadapkan dengan pertigaan. Spontan Pak Kosim langsung menghentikan mobil.

"Kiri atau kanan?" ucap Pak Kosim dengan suara lantang.

Selang beberapa detik, Mita kembali muncul. Berdiri di tengah jalan. Kemudian dia melayang ke arah kiri dan menghilang dalam kegelapan.

Pak Kosim membelokan mobil ke kiri. Jalan agak berbeda dengan sebelumnya. Bukan aspal, melainkan tanah berbatu. Kiri kanan tidak terlihat perumahan warga. Hanya ada pepohonan saja.

Setelah berjalan cukup jauh. Perumahan warga sudah mulai terlihat. Pak Kosim menghentikan mobil tepat di depan jembatan kayu. "Ini bisa dilewatin mobil gak, Ya?" tanyanya.

"Wah, saya gak tau, Pak," balasku.

"Bapak bukan nanya ke adek."

"Terus nanya siapa?"

"Ke diri sendiri."

Aku pun berinisiatif untuk turun dari mobil. Baru sadar, kalau hujan ternyata sudah reda. Kuedarkan pandangan, tak terlihat seorang pun warga.

"Astaghfirullah!" Spontan aku beristighfar, saat melihat Mita sedang berdiri di sebrang jembatan.

Seketika itu, aku teringat dengan mimpi tentang rumah Mita. Kuamati pelan-pelan bentuk jembatan dan area sekitar. Persis sekali.

Dengan gegas aku berlari menghampiri mobil. "Pak tunggu di sini," ucapku.

"Mau ke mana, Dek?" tanya Pak Kosim.

"Mau ke rumah Mita."

"Emang adek tau rumahnya?" Pak Kosim tampak ragu.

"Tau, Pak. Gak jauh kok dari sini," balasku dengan percaya diri. "Tunggu bentar, Pak."

Aku pun berlari, melewati jembatan kayu itu. Mita sudah menghilang entah ke mana. Kemudian berjalan lurus ke depan, sampai bertemu dengan rumah panggung.

Aku melangkah masuk ke halaman depan rumahnya. Terlihat ada bendera kuning berkibar. Dalam hati, yakin sekali ini rumah Mita.

Seorang wanita yang mengenakan kerudung hitam menyambutku saat tiba di depan teras. "Assalamualaikum," ucapku memberi salam.

"Walaikumsalam," balasnya.

"Apa ini rumah Mita, eh Indri maksud saya?"

"Mas siapa, Ya?" tanyanya.

"Saya Jamaludin, dari rumah sakit Mitra Harapan."

"Oh, satpam itu, Ya?"

"Kok Mbaknya tau?" tanyaku bingung.

Panggilan Telepon Dari Kamar Mayat [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang