CHAPTER 2: Here Goes Nothing

64 15 16
                                    

Slogan "quirky-quirky cool" yang digembar-gemborkan Katja membuat Ophe membayangkan seseorang yang artsy tapi klimis. Mungkin dengan fashion style yang mix-and-match, misalnya pakai suspender di luar kemejanya tapi kepalanya ditutupi kupluk plus sepatu boots kulit. Ophe berpikir, okelah, boleh juga. Setidaknya cowok-cowok kayak gitu biasanya rapi dan wangi.

Tapi orang yang Katja bilang namanya Mikael itu tidak sedikit pun serupa dengan apa yang Ophe bayangkan. Dia duduk di seberang meja, menatap Ophe dengan pelupuk mata setengah tertutup yang bikin Ophe yakin dia sepertinya lagi setengah tidur, adalah cowok yang sumpah. Mati. Nggak. Banget.

Rambutnya yang lebih mirip sikat kawat jelas nggak pernah ketemu sisir. Hoodie yang dia pakai mungkin tadinya warnanya kuning terang, tapi sekarang yang tersisa cuma warna kayak dempul butek. Untuk "menyempurnakan" penampilannya, cowok ini megenakan jeans butut robek-robek. Robek-robeknya bukan karena gaya lho ya, tapi saking bututnya jeans itu jadi sudah robek di berbagai tempat. Dan bukannya parfum atau apa kek gitu yang wangi, cowok ini malah menguarkan aroma yang Ophe curigai sebagai bau kencing anjing.

Ophe nggak yakin cowok ini pernah mandi—atau bahkan kenal apa itu konsep yang namanya mandi. Dia langsung menyesali keputusannya menuruti Katja untuk bela-belain berdandan dan memakai dress demi bertemu Mikael, cowok yang jelas-jelas nggak ada usaha untuk bahkan pakai baju yang layak.

Dengan geram, Ophe menendang pergelangan kaki Katja di bawah meja. Katja tidak terlihat berjengit sedikit pun dibalik make-up dan tatanan rambut sempurnanya. Malah, cewek itu melemparkan senyum kualitas supermodel-nya kepada cowok di hadapan mereka.

"Jadi, lo kerja di mana nih, El?" tanya Katja, terlihat tidak terpengaruh sama sekali oleh tendangan maut Ophe atau cubitan-cubitan rahasia yang Ophe layangkan ke pinggangnya.

Cowok yang tadi memperkenalkan diri sebagai Kael itu balas menatap mereka dengan wajah yang tanpa minat. Seolah-olah dia lagi ngobrol sama tumpukan debu di pojok ruangan.

"Gue foto-fotoin orang."

"Oh, lo fotografer maksudnya?" suara ceria Katja yang jelas dibuat-buat membuat Ophe harus menahan diri untuk tidak muntah di atas dress-nya. "Keren banget! Lo fotografer wedding apa gimana?"

"Nggak. Gue mangkal di spot-spot pariwisata, foto-fotoin turis, terus gue jual fotonya ke mereka. 20 sampe 50-ribuan per foto."

Ekspresi di wajah Katja berubah drastis. "Oh ... Asyik juga tuh."

"Ya. Musim liburan gini emang lagi lumayan rame," jawabnya. Sambil lalu, Kael menggaruk kepalanya, dan rambutnya yang awut-awutan jadi makin tidak keruan. Ophe berdoa semoga tidak sampai ada kutu menampakkan dirinya dari situ.

"Eh, Ophe juga kerjaannya keren, lho. Gimana Phe? Ceritain, gih!"

"Gue dibayar buat ngebanting orang," gerutu Ophe di antara rahangnya yang merapat.

"Dia bercanda, kok," Katja langsung berusaha menetralkan suasana. Salah satu caranya, mendaratkan stiletto-nya yang ber-heels 15 sentimeter di atas kaki Ophe sambil mempertahankan ekspresi tenang. "Ophe ini instruktur judo di SMA Prima Harapan. Lo tau kan, SMA elit yang pendidikannya kayak militer tapi eskulnya macem-macem itu?"

Alis Kael naik sepersekian senti. "Oh. Tau."

Ophe membalas dengan geraman tak acuh, sementara nyeri di kakinya berkat gilasan mesra killer heels stiletto milik Katja semakin berdenyut-denyut. Katja sepertinya juga sudah kehabisan topik pembicaraan. Atau lebih tepatnya, dia sudah menyerah untuk bisa mengajak ngobrol orang segaring Kael. Dia akhirnya mengeluarkan ponselnya dan sibuk sendiri.

Girls Like You (TAMAT)Where stories live. Discover now