II

336 89 1
                                    

Bali

2015

Jimin

Banyak yang bilang kalau kekasihnya aneh. Kadang bergumam sendiri seperti orang linglung yang putus koneksi dengan orang-orang sekitaran. Mungkin memang benar. Meski pekerjaannya kali ini menuntut Jeongguk untuk fokus, anak itu selalu menyempatkan diri untuk melamun. Kadang bahkan mendengarkan ASMR suara hujan yang damai. Tidak untuk membantunya tidur atau tenang, tapi justru menenggelamkan kesadarannya sampai titik paling lemah. Memutus jaringan yang ada dengan karyawan lain.

"Makan, yuk," tegur Jimin dari balik badan. Meski tahu kalau Jeongguk masih sibuk di depan monitor dengan banyak inter-face yang sedang ia buka. "Kamu tidak bawa bekal, kan? Baiknya, kita makan di luar saja."

"Sudah waktunya, ya?" Jeongguk mendongak. Membuat satu anting-anting panjang di daun telinga nya tidak sengaja memantul sinar matahari dari luar. "Tinggal satu. Aku nanti nyusul."

"Makan dulu, Gguk."

"Mau makan dimana, memangnya?"

"Nasi jinggo? Bebek betutu?"

Butuh waktu dua detik untuk Jeongguk berpikir sebelum mengangguk. "Aku bawa sepedah. Nanti, aku bonceng." Ia beranjak dari duduk. Setelan kemeja putih dan celana panjang membuatnya jadi orang paling formal di dalam kantor. Hampir semua orang pakai baju santai. Anak ini jadi seperti salah kostum.

"Boleh aku kelabang rambutnya?" Jemari Jimin memilin-milin ujung surai Jeongguk yang panjang. Hampir sampai garis pinggang. "Katanya, kan, kamu mau ikut menari kecak. Kapan jadinya?"

"Besok."

"Siapa yang datang?"

"Undangan dari Netherland." Tersirat nada enggan disana. Jimin bahkan sedikit banyak bisa merasai kalau pemuda di hadapannya setengah menggeram. Mirip seperti kucing yang tidak mau majikannya dicolong orang.

"Nanti, mau tidak, mampir ke pantai?"

"Mau ngapain?"

"Lihat kamu sulap."

Sunggingan senyum bisa Jimin lihat. Jeongguk terkekeh pelan waktu menanggapi. "Itu bukan sulap. Tapi memang bisa begitu."

"Menyemburkan api pakai minyak tanah yang kamu tahan di mulut itu susah, lho. Makanya aku suka lihat kamu main begitu."

"Iya. Nanti kita ke Nusa Dua, terus ke Kuta."

"Jauh sekali?" Jimin beranjak. Menggandeng lengan kekasih nya sambil berjalan pelan-pelan. "Tapi kalau dengan kamu, aku tidak masalah. Kan, kamu yang bonceng."

"Maunya, ya."

...

Dari sini, Jimin bisa jalan-jalan di setapak yang ada. Melompat dari bibir pantai satu ke bibir pantai lain. Mulai dari yang bisa mendekat ke laut, sampai yang cuma bisa berdiri di atas jembatan saja. Tempat terakhir adalah pantai Kuta. Meski harus keliling-keliling, ia tidak masalah. Selama bersama Jeongguk, aman saja rasanya. Pemuda itu bisa melempar tatapan sinis ke banyak orang tanpa peduli kalau tabiatnya bisa membuat spekulasi tidak perlu.

Obor menyala sudah ditangkap kekasihnya dari abang-abang yang bermain sulap. Langit yang kian sore kian petang, justru jadi background cantik waktu Jeongguk meniup api yang terlampau dekat dengan wajahnya. Entah apa yang ia sembur sampai bisa memutasi api yang semula kecil jadi besar. Menyembur panjang dan berhasil membuat beberapa orang menghindar. Sudah mendapat tatapan heran. Cuma Jimin saja yang sudah terbiasa. Bertepuk tangan kegirangan dan memberi Jeongguk selamat karena sudah berhasil di pertunjukan. Tubuh pemuda yang tinggi itu menepi dan duduk-duduk di atas pasir.

Mahendra [kookmin]Where stories live. Discover now