Part 33 - Ada Apa Dengan Senyumnya?

Start from the beginning
                                    

"Minta doanya aja, Bu. Bukan gosip." Dengan senyum khasnya itu, membuat Ibu Nining cengengesan dan menggaruk kepalanya.

"O yah, Dokter Rian. Ini kenalin, Syaila. Cantik, masih muda, ustadzah lagi. Laki-laki yang bersanding sama dia nanti, pasti akan jadi orang yang paling beruntung di dunia," ucap Ibu Tut penuh mesra. Mengenalkan Ustadzah Syaila pada Rian, seolah terdapat makna lain pada perkataannya.

"Aduh, Bu. Jangan ngomong gitu ah, malu," tepis Syaila, raut tak enak hati jelas terlihat pada wajahnya.

"Lho, nggak papa toh, Nak." Memegang pundak Syaila. "Kalian wajib kenalan lho ini, lumayan 'kan dokter ketemu sama ustadzah, sekedar nambah relasi." Senyum merekah penuh maksud terselubung, terbit dari sudut bibirnya.

"Benar itu, Nak Syaila. Kali saja ada yang nyangkut."

"Apa yang nyangkut?" kilah Nisa, ia sedikit jengkel. "Yuk Rian, masuk," lanjutnya. Ia sangat mengerti maksud kedua tetangganya itu.

"Yah, gagal lagi deh." Ibu Tut mendengus kesal.

"Apa sih ibu-ibu ini," ucap Syaila menggeleng heran. Tawa kecilnya penuh pesona, memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Haha." Ia kembali tertawa pelan. "Ya sudah Ibu-Ibu, saya permisi kalau gitu, ya. Assalamualaikum," pamitnya. Meninggalkan bekas senyumnya yang terus membayang di sanubari orang yang melihatnya.

"Lho, kok buru-buru sekali, Nak Syaila?" ujar Ibu Renata sebelum Syaila melangkahkan kakinya.

"Lain kali aja, Bu. Hari ini nggak bisa lama, mau bawa tausiyah dulu," balasnya penuh lembut.

"Subhanallah. Cantik lentik dan kalemnya kamu ini, Nak," puji Ibu Tut, membuat Syaila tersipu malu.

Syaila kian tak menampakkan wujudnya lagi, menyisakan Rian yang terpatung entah memikirkan apa.

"Nak Rian, mampir ke rumah, yuk!" seru Ibu Tut.

"Iya lho Nak Rian, saya tunggu kedatangannya di rumah," tambah Ibu Nining. Kedua tetangga Nisa itupun ikut meninggalkan lokasi. Disusul oleh Rangga kemudian, yang tak berani lagi berkata apa-apa di depan seorang pria maco.

"Iya, Bu. Lain kali Rian usahain mampir," ucapnya dengan senyum yang menggoda.

Saling melepas rindu bersama, dihiasi dengan pelukan dan obrolan hangat. Membuat raga Nisa kembali menyatu dengan rumahnya. Sembari mengingat-ingat wajah sang putri, entah bagaimana keelokan parasnya sekarang? Nisa menjadi sangat rindu.

"Syukurlah kamu, Nak. Ibu senang dapat kabar ini," ucap Ibu Renata penuh haru. "Terus, Dimas gimana?" Pertanyaan itu sedikit membuat Nisa muak mendengarnya.

"Dia kerja, Bu. Jadi nggak bisa ikut." Jeda. "Abi sama Fafa, kok nggak kelihatan?" tanya Nisa saat menyadari Abi dan sang adik tidak menampakkan batang hidungnya.

"Fafa lagi ada kegiatan seminar di kampusnya," ucap sang ibu dengan santai. "Kalau abi kamu, dia emang sengaja nggak ada di rumah pas dapat kabar dari Rian soal pulihnya ingatan kamu itu," ucapnya seolah sedang mengadu, membuat Nisa menyodorkan tubuhnya penasaran.

"Kenapa, Bu?"

"Tahu sendiri 'kan abi kamu. Mana mau dia nangis di depan anaknya! Malu."

Nisa menggelengkan kepala. "Benar-benar nih, abi."

"Habis ini, jangan langsung beraktivitas berat dulu, ya," ujar Rian penuh perhatian, mengelus rambut Nisa lembut.

"Ya sudah, ngobrol dulu aja. Ibu mau buatin minum dulu," ucapnya sembari berdiri dan melangkah menuju dapur.

"Ian," panggil Nisa, tubuhnya ia posisikan menghadap Rian.

"Umh?" sahutnya.

"Aku mau berhenti kerja di kantornya Pak Abram," keluhnya.

"Jangan, Sayang. Kamu butuh pekerjaan itu."

"Iya, tapi aku mau coba cari kerja yang lain."

"Nyari kerja di era sekarang itu nggak gampang, Sayang. Syukur aja sekarang masih punya kerjaan."

"Lagian 'kan aku bukan sekretaris di perusahaan itu lagi, Ian."

"Nggak usah kerja jadi sekretaris, jadi karyawan biasa aja. Tapi tetap kerja di perusahaan papa!"

"Terus, apa iya aku harus ketemu Dimas tiap hari di kantor? Tiap detik mata ini selalu melihat dia di sepanjang lorong, sudut, dan pandangan?" Matanya melotot, bersamaan dengan keningnya yang dibuat berkerut.

"Lho, memangnya kenapa? Dia nggak akan nerkam kamu 'kan? Masak kamu, terus cocolin kamu ke sambal dan dimakan ramai-ramai?" Perlahan Rian menyenderkan tubuhnya pada sofa. "Dimas nggak sesadis itu," lanjutnya.

Selang setelahnya, Ibu Renata datang menghampiri beserta sebuah nampang di tangannya.

Menaruhnya di meja, lalu membagikannya. Ikut duduk bersama, dan melontarkan pertanyaan yang entah mengapa begitu membuat Rian tersentak kaget.

"Jadi kapan, pernikahan kalian berlangsung? Kalian tunangan udah lama bangat lho ini, hampir setahun. Jadi rencana akadnya, kapan?"

Mimik wajah itu terlihat kalang kabut. Akankah Rian tetap dengan janjinya akan menikahi Nisa? Atau justru lengah dan menghentikan hubungannya?

The Past (Tamat) ✓Where stories live. Discover now