Senyum Pak Ar merekah lebar, penuh rasa bangga. "Ya, benar. Tadi kan Bapak bilang, kali ini yang ngeliat itu orang yang ada di bumi. Sedangkan Pak Budi dan cahaya kerjar-kejarannya di ruang angkasa."

"Loh? Kok gitu, Pak?"

"Jadi, ini tugas kalian ...."

Guru fisika mereka itu sering sekali melakukannya. Membuat tugas-tugas aneh, dari pertanyaan yang terkadang tidak ada hubungannya dengan pelajaran yang akan dipelajari.

"Satu kelompok dua orang, harus selain dengan teman sebangku. Tugas kelompoknya dikumpul minggu depan. Seperti biasa, hanya ada satu atau dua kelompok saja yang presentasi. Oh ya, Ivory sama Milo bisa satu kelompok."

Kebiasaan Pak Ar yang lain adalah, dia sangat menyukai murid pintar, dan menyatukannya seolah sedang menunggu keajaiban dari hasil pikiran mereka. Bagi beberapa murid, membiarkan Milo dan Ivory berada dalam satu kelompok adalah hal yang bagus. Apalagi kalau presentasi mereka memuaskan. Kemungkinan kelompok lain dipilih untuk maju hampir mendekati nol.

Sayangnya, kali ini ada murid yang tidak setuju.

"Iya, Diko?"

"Pak, kalo Ivory sama Milo disatuin, yang nggak ngerti malah makin nggak ngerti, Pak. Mereka seharusnya dipisah, biar yang lain juga bisa ikut belajar. Soalnya saya juga nggak ngerti sama sekali."

Pak Ar mengangguk-angguk.

"Kamu mau satu kelompok Ivory?"

Diko yang duduk di deretan kursi paling belakang itu tersenyum lebar.

"Karena nggak bisa nyeret Ivory masuk klub fotografi lo mau pakek plan B?" teman sebangku Diko itu berbisik.

***

Begitu bel pulang berbunyi, Diko menghampiri meja Ivory. Bersandar pada meja guru dengan santai, sambil menahan senyumnya agar tidak terlalu lebar karena senang. "Jadi, kita satu kelompok, ya. Kita mau ngerjainnya kapan, Vo?"

Sebenarnya, Ivory tidak begitu nyaman ketika Pak Ar menawarkan Diko agar satu kelompok dengannya. Namun, Ivory juga tidak bisa menolak. Guru dan teman-teman sekelasnya mungkin berpikir Ivory terlalu pilih-pilih. Meskipun beberapa dari mereka juga yakin, Diko sedang mengambil langkah lebih jauh untuk bisa mendekati Ivory.

Jadi, perempuan itu menerimanya begitu saja. Sempat meminta teman-temannya untuk pulang lebih dulu begitu ia selesai membereskan meja. Selain karena Diko, Fuchsia juga memintanya bertemu. "Hari Sabtu , selesai gue persiapan olim, gimana?"

Diko mengangguk-angguk setuju. "Oke, kebetulan gue juga ada rapat untuk persiapan The Colors of Art Project nanti. Lo selesai jam berapa kira-kira?"

"Jam tiga."

"Kita mau ngerjain di mana?"

"Di sekolah aja."

"Oke."

Ivory mengangguk samar. Merasa tidak ada lagi yang harus mereka bahas, perempuan itu bangkit, dan Diko kembali melanjutkan, "Vo, mau berangkat les bareng nggak?"

Dan belum sempat Ivory menjawab, seseorang yang sudah berdiri di depan pintu kelas itu berhasil mengalihkan pandangan keduanya bersamaan. Fuchsia sudah berdiri di sana, terlihat sedikit tidak nyaman—tidak seperti biasanya.

Maka, Ivory buru-buru menghampiri. Meninggalkan Diko yang masih belum berubah posisi, duduk di meja guru, memperhatikan keduanya.

"Vo."

IVORY (SELESAI)Where stories live. Discover now