32• Membangun Suasana

2.3K 427 84
                                    

memori kelam itu memanggil,
berbisik tentang kenangan dan bayang-bayang akan masa lalu yang hampir hilang

memori kelam itu memanggil,berbisik tentang kenangan dan bayang-bayang akan masa lalu yang hampir hilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





[TIGAPULUH DUA]

Pukul 12.00 siang.

DAN situasi yang pagi tadi terlihat dilanda hujan deras, kini sudah mulai jauh mereda. Hanya rintik saja yang sesekali datang dengan tambahan awan mendung yang masih belum menghilang.

Suasana Situ Cipanten yang sempat mereka kunjungi dua jam lalu, berhasil membuat mood buruk Shanin menghilang.

Dengan pemandangan indah berupa danau hijau yang dihiasi beberapa macam ikan, serta tambahan sebuah perahu kayu yang sempat Shanin dan ke-enam pangeran itu naiki untuk mengelilingi area danau.

Dan tak lupa, insiden menyedihkan yang menimpa Al saat cowok itu hendak melompat turun dari dalam perahu. Insiden yang membuat kamera mahal yang sengaja Al bawa untuk mengabadikan momen indah mereka, mati total akibat tercebur ke dalam danau.

Tidak dengan Shanin yang tertawa bahagia sepanjang perjalanan, si tampan berambut keriting itu sibuk mengusap-ngusap kameranya menggunakan baju. Berharap bahwa hal itu dapat membuat kameranya kembali menyala.

"Gue baca di internet, rendem beras katanya biar cepet kering." Arkan yang baru saja ikut duduk disalah satu kursi rumah makan ini bersuara.

Membiarkan Derren membenahi kacamatanya sebelum berucap, "Mau beli beras sekarung? Itu kamera si monyet gede banget gitu."

"Lagian kenapa bawa kamera yang gede banget, sih? Kayak paparazi aja." Omel Richard sembari meletakkan puntung rokoknya ke dalam asbak sebelum meraih benda besar itu dari genggaman Al.

Mulai mencoba mengutak-ngatiknya setelah mencabut memori card yang juga sudah basah kuyup. Belum tambahan bau amis khas air danau yang kini menyapa hidungnya.

"Gak pa-pa," ucap Shanin seraya mengusap punggung Al lembut, "Nanti Shanin beliin yang baru pas Al ulang tahun. Yakan Raynzal?"

Merasa terpanggil, kedua manik Raynzal sempat berkedip dua kali, "Kenapa jadi gue yang beliin? Kan lo yang janjiin."

"Lagian ulang tahun gue udah lewat, kan," gerutu Al geram, "Tahun depan dong?"

"Gak pa-pa," untuk kali kedua gadis itu berucap, "Shanin tau Al sabar."

Hampir mengacak rambut gadis disebelahnya itu gemas kalau saja pesanan yang mereka tunggu sedari tadi tak datang mengganggu.

Pesanan berupa lima puluh tusuk sate ayam dan lima puluh tusuk sate kambing.

Menu makan siang yang tak lain dan tak bukan direkomendasikan oleh gadis mungil nan cantik yang saat ini tengah duduk ditengah-tengah para malaikat penjaganya.

Terlihat paling kecil diantara ke-enam badan besar disekitar, membuat beberapa perhatian dari para pengunjung rumah makan ini beberapa kali tertuju kepada perkumpulan itu.

"Shanin punya ide." Di tengah-tengah kesibukannya dalam mengunyah, gadis itu bersuara.

"Gak mau denger," tolak Raynzal acuh, "Ide lo selalu membawa pengaruh buruk."

Sedih kala mendapati respon seperti itu, di alihkannya wajah Shanin kepada Arkan yang memang duduk tepat disebelahnya.

"Emang iya?" Tanya gadis itu dengan bibir manyunnya.

Membuat Arkan yang gemas, terlihat meraih sehelai tissue kemudian sempat membersihkan sisa bumbu kacang disekitar mulut Shanin sebelum menjawab, "Enggak."

Membiarkan Arga menghela napasnya panjang untuk yang entah ke berapa kalinya dalam hari ini.

"Ide apa?" Richard mengambil alih saat menyadari situasi canggung disekitar.

"Kita harus bikin jadwal liburan tiap bulan." Responnya cepat saat pertanyaannya mendapati respon menyenangkan.

"Tiap bulan?" Beo Al singkat yang tentu gadis itu balas dengan anggukan antusias, "Udah kayak arisan."

"Boleh, seru kayaknya." Timpal Arga singkat sembari menggigit daging ayam terakhirnya.

"Kemana?" Derren ikut andil.

Membuat Shanin menimang singkat, "Bebas. Tiap bulan kita ganti-gantian nentuin tempat yang mau dikunjungin."

"Paris!" Seru Al bersemangat, melupakan sejenak perihal masalah kamera mahalnya yang kini sudah tergeletak tak berdaya diatas meja.

"San Marino!" ikut Derren cepat, "Sepi, cuman ada 1000 penduduk. Seru pasti."

"Shanin mau ke korea, mau ketemu Oppa sama Key—"

Tak berhasil menyelesaikan kalimat panjangnya, bekapan lembut yang berasal dari arah Al mampu membuat gadis itu menggeram kesal.

Menunjukan kerutan di dahinya sembari menatap cowok berambut keriting itu tak suka.

Sudah berniat untuk menyuarakan protes tambahannya, sebelum usapan lembut yang berasal dari arah Arkan menyapa. Membuat gadis itu barulah memahami situasi disekitar.

Sadar akan kesalahan yang ia lakukan karna sudah menyebutkan nama sakral yang haram untuk disebut sejak beberapa bulan lalu.

Berhasil mendapati wajah murung Raynzal, membuat Shanin memutar otaknya cepat, "Maksud Shanin, bukan mau ketemu Keyla. Tapi, ke Korea aja. Tapi kalo semisal kita gak sengaja papasan, gak ada salahnyakan nyapa?"

Dan bukan Shanin namanya jika tak membuat para pendengar disekitarnya merasa ngilu atas ucapan polos gadis itu.

Bahkan Richard sudah menutup wajahnya dengan kedua tangan, lain halnya dengan Derren dan Al yang kini terlihat menundukan kepalanya.

Tidak dengan Shanin yang kini nampak tersenyum penuh rasa bangga, merasa kalau klarifikasinya tadi adalah jawaban pintar yang patut mendapati pujian.

Namun bukannya memuji, Raynzal justru beranjak dari posisinya sesudah membuang napasnya panjang. Berjalan menjauhi kerumunan untuk pergi menyendiri dengan alasan ingin merokok.

Meninggalkan kedipan tak paham dari arah Shanin, yang kini beralih nenatap manik Arga.

"Raynzal kenapa?"

Dengan gemas, diusapnya puncak kepala gadis dihadapannya itu, "Gak pa-pa, aku susulin dulu." Katanya dan segera beranjak.

Membuat Shanin beralih pada sosok Richard, gadis itu sempat mencolek singkat bahu cowok itu. Membuat pemiliknya membuka kedua tangannya dan beralih menatap Shanin.

"Raynzal kenapa?"

Namun sekali lagi, senyuman gemas itu kembali Shanin dapatkan, "Gak pa-pa. Abisin nih satenya, masih banyak."

"Guys?" Kali ini, gantian Al yang bertindak, "Boleh gak, sekali aja gue tarik rambutnya?"

Tentu, permintaan itu tak mendapati respon menyenangkan dari ketiga sobatnya. Bahkan Derren sempat mendorong bahu Al pelan.

"Please? Siapa tau otaknya jadi bener. Yakan?" Mohon Al sembari menatap Arkan, Richard dan Derren secara bergantian.

Membuat Shanin ikut melakukan hal yang sama, sebelum pandangan tak paham itu kini berhenti ke arah manik indah Al.

"Al mau narik rambut siapa?"

•••






Dah deh, Nin.
Tesera u sama rambut ungu u aja.

Shanin's Diary 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang