18. Tuhan Memberi Kesempatan

ابدأ من البداية
                                    

Namun mengapa hanya mengetahui ranjang Reynar yang kosong tanpa ada tubuh adiknya, pemikiran buruk yang singgah di kepala bahwa Reynar telah dijemput Tuhan begitu menyesakkan dada, begitu membuat dirinya ketakutan hingga tanpa sadar menjatuhkan air mata.

"Kamu yang tenang, ya,"

Satu kalimat dari ayahnya mampu memporak-porandakan segala pikirannya yang mencoba berpikir positif meski pikiran negatif telah mendominasi di kepala.

"Maksud ayah? Reynar ...,"

🌱🌱🌱

Kedua bola mata yang memerah dan sembab itu tercetak jelas di mata wanita paruh baya yang tengah duduk menatap pada sosok di hadapannya, meski begitu senyuman itu tak luntur dari bibirnya pun ucapan rasa syukur di dalam hatinya kepada sang Penulis skenario kehidupan. Tangannya kembali menyendokkan bubur dari mangkuk di tangannya, kemudian menyodorkannya pada sosok pemuda yang tengah duduk sembari bersandar pada ranjang namun kali ini sebuah penolakan yang dia terima melalui gelengan kepala.

"Sudah, Bund. Aku kenyang."

"Kamu hanya makan kurang dari lima sendok, Sayang."

Kepala itu kembali menggeleng, "Pahit, Bund. Rasanya juga terasa hambar."

"Ya sudah, minum dulu ya." Wanita itu meletakkan mangkuk di atas nakas samping ranjang, kemudia beralih pada segala air putih.

Dengan pelan pemuda itu mulai meminum air putih melalui sedotan dengan di bantu wanita yang telah menjadi ibunya. Ketika rasa haus yang tadi terasa telah diobati, ia mulai menyudahi minumnya, menyisakan setengah air putih di dalam gelas.

"Sudah Bund, terima kasih."

Wanita itu kembali tersenyum, setelah meletakkan gelas kini tangannya beralih mengelus kepala remaja lelaki di depannya.

"Mau tidur?"

Sejujurnya dia tak ingin melihat anaknya kembali menutup mata, ada ketakutan yang ia rasakan namun tidur merupakan salah satu kewajiban yang harus anaknya lakukan agar segera pulih.

"Boleh Rey tidur di pelukan Bunda?"

"Tentu."

"Kalau begitu ayo Bunda naik dan berbaring di sini."

"Tapi...,"

"Ranjang ini muat untuk kita berdua, Bund."

Almira mulai membaringkan tubuhnya ketika Reynar bergeser, kini  tangannya menjadi bantal untuk kepala anaknya sementara tangan yang satunya mengelus punggung Reynar penuh kasih. Reynar mulai memejamkan mata menikmati setiap usapan lembut yang Almira berikan, menenggelamkan wajahnya di dada wanita itu yang selalu memberikan kehangatan.

Namun ketika dirinya mulai menjemput mimpi, kedua matanya harus terpaksa di buka ketika suara pintu yang di buka secara kasar dan langkah kaki yang tergesa terdengar dalam telinga. Reynar menjauhkan wajahnya dari dada Bunda untuk melihat siapa yang datang dan mengganggu acara tidurnya, begitupun dengan Almira yang menoleh ke belakang.

Plak!!

"El!!"

Pukulan di kepalanya membuat Reynar meringis kesakitan, rasa pusing seketika terasa di kepalanya meski pukulan itu tak begitu kuat dan terkesan main-main tetapi demi Tuhan dia baru saja sadar. Sementara itu Almira refleks meneriaki nama anaknya, kemudian mengelus kepala Reynar.

"Kenapa memukulnya? Reynar baru saja sadar, Sayang."

"Biarkan saja." Eldo menatap Reynar tajam namun ada kekesalan juga kelegaan yang tak bisa dia tutupi, "Biar otaknya kembali ke tempat semula, Bund."

"Sakit bego, kasar banget, sih."

Tidak memperdulikan keberadaan kedua orangtuanya, ucapan kasar itu terlontar dari mulut Reynar karena kesal dengan kakak tirinya.

"Siapa suruh lo bertingkah bodoh."

"LO!" Reynar melototkan matanya tajam pada Eldo, tubuhnya refleks bangkit dan hendak menonjok wajah kakaknya yang mengesalkan.

"Apa? Mau mukul? Pukul aja. Pukul sepuas lo sampai lo puas, Bocah. Pukul gue sampai hati lo lega, sampai dada lo ga sesak lagi. Pukul gue sepuas lo, lampiasin semuanya ke gue. Kalau lo ada masalah, bilang sama gue. Bukan bertindak bodoh dengan bunuh diri segala."

Reynar terpaku, tubuhnya membeku seketika mendengar semua ucapan Eldo, kepalan di tangannya semakin menguat, tatapannya mulai melemah tak setajam tadi.

"Lo nggak tahu apapun."

Pada akhirnya ucapan itu yang Reynar ucapkan, matanya kini berpaling enggan menatap mata kakaknya yang menatapnya begitu tajam, tangannya yang mengepal pun ia turunkan.

"Emang bener gue nggak tahu apapun, tapi asal lo tahu, bunuh diri itu hanya akan menambah masalah, bukan menyelesaikan masalah. Lo bukan hanya menyakiti diri lo sendiri, tapi lo juga menyakiti orang lain terutama orang tua lo."

Ada sesak yang kembali menghampiri ketika mendengar ucapan Eldo, namun hatinya masih begitu keras untuk membenarkan bahwa yang diucapkan kakak tirinya adalah benar. Namun dirinya pun tetap tak ingin disalahkan. Berpikir bahwa ketika manusia berada di titik paling lemah, mereka pun mungkin akan melakukan tindakan bodoh sepertinya.

"Dan lo, lo emang manusia yang nggak tahu terima kasih, Rey. Nara kasih lo kesempatan buat hidup, tapi lo dengan bodohnya memilih ingin menghabisi nyawa lo sendiri."

Nara. Lagi-lagi Eldo mengingatkannya kepada gadis itu. Seorang gadis yang rela mati demi hanya untuk menyelamatkan dirinya yang ingin melenyapkan diri dari dunia.

"Dasar egois."

Dua kata itu, adalah kalimat terakhir yang Eldo ucapkan sebelum memilih untuk pergi meninggalkan ruang rawat yang Reynar tempati.

Hingga usapan lembut di kepalanya membuat Reynar mendongak menatap wajah sosok pria paruh baya di hadapannya.

"Yang diucapkan Eldo benar, Rey. Kamu menyakiti hati Ayah, juga Bunda dan mungkin Eldo. Kamu membuat kami semua ketakutan karena jantungmu yang sempat berhenti berdetak."

"Maaf, Yah."

Reynar hanya mampu berucap maaf dengan lirih karena hanya itu yang mampu ia ucapkan meski maafnya tak mungkin bisa menghapus apa yang telah terjadi.

"Jangan melakukan hal itu lagi, ya? Kalau Reynar ada masalah, atau Reynar mulai lelah, Rey bilang sama kami. Jangan dipendam sendiri. Bunda siap kok mendengar keluh kesah Rey. Kalau Rey mulaielah, Rey bilang sama Bunda. Bunda akan memeluk Rey dan mengusir segala penat yang Rey rasakan."

"Iya, Bund."

Kini pelukan hangat itu kembali dia rasakan dari Bundanya.

"Oh ya, asal Rey tahu, Eldo sempat menangis tadi."

"Menangis? Kenapa?"

"Dia begitu ketakutan jika kamu memilih pergi, Reynar."

Satu pertanyaan yang Reynar pikirkan namun tak ia utarakan, yaitu; "Bukankah Eldo membencinya?"

🌱🌱🌱

Bandung, 20 Juli 2021.

REYNAR || Huang Renjun [END ✔️] حيث تعيش القصص. اكتشف الآن