Getar lembut mengusik kantukku. Aku merogoh saku kanan celana jeans coklatku. Mengeluarkan smartphone merk murah yang kubeli dengan honor freelanceku. Sms masuk dari editor majalah tempatku bekerja, menanyakan ulasan dan foto perjalananku ke Bromo. Kubalas singkat dengan janji akan mampir ke kantor setelah kuliah.

Setengah jam terkantuk-kantuk, akhirnya selesai juga pelajaran hari itu. Aku bersiap-siap pulang saat editorku kembali menelpon.

"Ya, pak?" sahutku sambil sibuk membereskan barang-barangku.

"Cepat kesini, Kanako. Jangan lama-lama. Bos mau datang, katanya. Saya ngga mau kamu bertemu dia." kata Pak Miko, editor-in-chief di kantorku.

Pak Miko yang berusia akhir 40an itu sangat baik dan sabar. Mungkin menganggapku seperti anaknya sendiri. Beliau selalu mengusirku dan beberapa karyawan perempuan muda baru jika anak bos kantor kami akan datang berkunjung. Anak bos kantorku itu terkenal genit dan suka main perempuan. Entah sudah berapa banyak pegawai wanita di kantor yang pernah dipacarinya.

Aku tersenyum mendengar peringatan atasanku itu.

"Iya, pak. Kana berangkat sekarang." sahutku santai sambil menahan tawa.

Aku memang belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Tapi bukan berarti aku tutup mata dengan sekelilingku. Aku nyengir sendiri. Innocent, not ignorant. Kirana sendiri sudah 3 kali ganti pacar sejak aku mengenalnya. Tentu saja, gadis secantik dia pasti banyak penggemarnya. Dengan rambut ikal panjang, kulit coklat dan mata bulatnya serta sifatnya yang baik dan ramah, pria mana yang tidak terpesona. Dibanding aku yang terlihat santai dan tomboy. Ah, bukan masalah. Toh aku juga tak punya waktu untuk pacaran.

Aku berlari keluar kampus ketika melihat angkutan umum yang harus kunaiki menuju kantor lewat. Kulambai-lambaikan tanganku dan mobil itu pun berhenti tepat di depanku. Butuh sekitar 20 menit untuk tiba di kantor menggunakan angkutan ini. Aku memeriksa ulang tasku, memastikan hasil print-out ulasan perjalananku tak tertinggal di kampus. Map transparan berwarna pink bertengger manis di dalam tasku beserta USB mungil berisi data foto.

Teringat kembali saat pertama kali aku datang ke kota ini, dengan uang tabungan yang ku kumpulkan sejak lama, aku membeli sebuah kamera digital. Sejak SMA, aku memang suka menulis artikel yang selalu ku kirimkan ke majalah. Tidak semuanya diterbitkan, tapi beberapa yang diterbitkan hasilnya bisa kugunakan untuk membeli keperluanku. Beruntung aku aktif di klub pecinta alam kampus. Kegiatan alam mereka membuatku mampu membuat artikel perjalanan beserta foto yang membuatku diterima sebagai fotografer freelance di sebuah majalah travel. Aku juga menuliskan ulasan perjalanan, sebagai panduan pada penulis yang akan membuat artikel untuk fotoku.

Tiba di kantor redaksi, aku menggesekan kartuku pada gerbang mungil yang menutupi jalan menuju lift. Walaupun aku pegawai freelance, tapi aku rajin mondar-mandir di kantor. Hal itu membuat Pak Miko memberiku kartu tanda pengenal karyawan untuk memudahkan akses. Hari itu kantor agak sepi. Mungkin para reporter dan fotografernya sedang sibuk meliput. Menyenangkan rasanya membayangkan pergi ke berbagai tempat dengan keindahan alam yang memukau sambil meliput. Itu impianku suatu saat nanti.

Aku memandang pantulan diriku dari kaca lift. Tubuhku tidak tinggi, dibanding Kirana yang mencapai 170cm, aku termasuk mungil. Rambut lurus sepinggang yang kuikat menjadi buntut kuda dan poni yang menutupi dahi membuatku terkesan seperti anak SMP daripada mahasiswi. Aku menghela nafas panjang. Aku ini sama sekali tidak menarik.

Pintu lift akhirnya terbuka. Aku hendak berjalan keluar, saat kusadari ada seorang pria tampan berdiri di depan lift, menghalangi jalanku. Aku menatapnya hendak mengucapkan kata permisi, pria itu tersenyum ke arahku.

"Hallo."

Pria itu menyapaku santai. Dengan tiba-tiba mengulurkan tangannya dan menarik lembut tanganku, membuatku melangkah keluar dari lift.

Forever MineDonde viven las historias. Descúbrelo ahora