Chapter 3 - A Deadly Dot on The Map

112 20 50
                                    

Nyaris semalaman Dru tidak bisa memejamkan mata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nyaris semalaman Dru tidak bisa memejamkan mata. Sekali pun semua protokol keselamatan sudah dia lakukan, tetapi dia dan Ibu tetap tak bisa pulas. Mereka baru bisa tidur menjelang dini hari, saat sebuah sirine kembali terdengar. Sirine yang mengatakan bahwa semuanya aman. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tak ada Abnorm yang berhasil masuk.

Karenanya, meski dengan mata yang masih merindukan bantal, pukul tujuh Dru sudah tiba di akademi. Dia memaksakan diri datang sepagi ini bukan karena permintaan Bisma semalam. Laki-laki itu tidak menentukan jam pasti, jadi Dru punya alasan untuk menunda selama mungkin kalau perlu. Dia datang sepagi ini karena ingin menemui Pak Sena. Hanya Pak Sena. Namun, saat Dru tiba di depan ruang kerja Pak Sena, Bisma ternyata sudah duduk di ruang tunggu.

Dru memandang laki-laki itu. Wajahnya terlihat sangat segar. Seolah dia dapat jatah tidur delapan jam penuh. Entah Bisma tidak paham maksud kode-kode kedaruratan di Suaka 7 atau dia memang lebih mementingkan jatah tidurnya.

"Pagi," sapa Bisma dengan nada suara tenang dan sedikit dalam. Tidak ada senyum atau lambaian tangan. Kalau di ruangan ini tidak hanya ada mereka berdua, Dru mungkin sudah mengira Bisma menyapa orang lain.

"Pagi," jawab Dru kaku. Dia melangkah ke ujung terjauh yang dimungkinkan oleh satu bangku panjang berbusa itu. Dru duduk, lalu pura-pura sibuk memperhatikan detail interior ruang tunggu ini.

Tidak ada yang istimewa, Dru sudah hapal setiap detail, sebenarnya. Selain satu bangku panjang dan meja yang sama panjangnya, hanya ada dua lemari penuh dengan tatanan buku-buku. Sebagian besar adalah hasil penelitian Pak Sena. Koleksi buku Pak Sena lebih banyak lagi, sebenarnya. Ada beberapa buku dari masa sebelum Bencana Agung di ruang kerjanya. Buku-buku itu adalah harta karun baginya, sekali pun itu hanya buku bergambar untuk balita yang lembar-lembar kertasnya sudah banyak menyerpih.

"Bukan isinya yang Bapak nilai," jawab Pak Sena pertama kali Dru tahu harta karun Pak Sena adalah buku bergambar. "Buku usang itu adalah bukti sejarah. Bahwa sebelum Bencana Agung, manusia hidup makmur. Mereka tak perlu memikirkan kepunahan sumber pangan, hingga orang dewasanya bisa menulis untuk hiburan anak-anaknya."

Saat itu, Dru hanya bisa mengangguk. Gambaran tentang kehidupan sebelum Bencana Agung benar-benar abstrak di kepalanya. Yang bisa dia bayangkan dengan agak jelas hanya satu. Dulu manusia bebas bepergian ke mana-mana. Tidak ada tembok setinggi puluhan meter. Tidak ada manusia buas di luar tembok. Hanya itu.

"Nunggu Pak Sena juga?" tanya Bisma, membuat Dru harus mengakhiri kepura-puraannya dan mengalihkan pandang pada laki-laki itu.

"I..."

Dru baru mau menjawab, tapi Bisma memotong jawaban Dru yang niatnya hanya satu kata itu. "Atau, kamu datang sepagi ini karena nggak sabar mau jalan-jalan sama aku?"

Dru menahan geram. Ya, Tuhan. Kenapa di pagi yang melelahkan ini Dru masih harus berurusan dengan om-om narsis ini? Dia hanya ingin bertemu dengan pembimbingnya sebentar sebelum nanti harus pasrah diajak keliling Suaka 7 oleh calon rekan semisinya itu.

DRU (Timun Mas Story in a Dystopian World)Where stories live. Discover now