Chapter 0 - Everything Starts Here

351 50 30
                                    

Jika wanita muda itu tidak ingat apa yang akan menimpanya kalau dia berhenti berlari, mungkin dia sudah akan menyerah, mengikuti dorongan hati untuk mengistirahatkan kakinya yang terasa begitu sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika wanita muda itu tidak ingat apa yang akan menimpanya kalau dia berhenti berlari, mungkin dia sudah akan menyerah, mengikuti dorongan hati untuk mengistirahatkan kakinya yang terasa begitu sakit. Dia ingin duduk, menghela napas panjang dengan tenang, atau mengurut pergelangan kakinya. Tapi, semua itu hanya angan yang tak mungkin dia lakukan. Ada makhluk mengerikan yang mengejarnya di belakang. Dengan daya hewani makhluk itu, hanya tinggal menghitung waktu saja sebelum wanita itu berakhir di cengkeraman buas makhluk itu.

Mungkin, pada akhirnya, wanita itu memang tidak bisa menghindar. Mungkin sudah takdirnya untuk berakhir di salah satu tangan buas pengejarnya. Namun sebelum semua itu terjadi, dia harus menyelamatkan satu-satunya harapan yang dia miliki. Satu-satunya alasan dia mampu berlari sejauh ini.

Suara rengekan bayi menyela keheningan gang di salah satu sudut kota mati tempat wanita itu berada sekarang. Suara rengekan itu cukup pelan, tapi keheningan di sekelilingnya mampu menonjolkan rengekan itu hingga seolah menggema ke sepenjuru gang. Merambat ke dinding-dinding tinggi kelabu, menyelip di antara tumpukan logam-logam bekas berkarat, juga merayap ke sela-sela rumput liar yang tumbuh setinggi tulang kering.

Wanita itu memandang sosok mungil di dekapannya. Bayi perempuannya, sumber asanya.

"Shh, jangan nangis," bisik wanita itu penuh kasih, membelai rambut hitam lurus bayinya. Dia sedikit memperlambat langkahnya untuk mengurangi guncangan. Mungkin getar larinya telah membangunkan si bayi. "Bentar lagi sampai. Bentar lagi kamu aman."

Bayi itu menggumam pelan sekali lagi sebelum kembali tidur.

Setelah yakin bayinya pulas tertidur, wanita itu kembali mempercepat langkahnya. Tidak berniat memperlambatnya lagi. Sekarang saja dia sudah terlambat.

Tinggal lima blok lagi sebelum dia tiba di tempat aman yang tadi dia janjikan pada putrinya. Di tempat aman itu, seseorang akan menunggu mereka. Seorang laki-laki yang sudah berjanji akan menyelamatkan mereka. Seorang laki-laki yang sudah dia kecewakan, tapi tetap bersedia membantunya.

Empat blok berlalu tanpa benar-benar wanita itu sadari. Bahkan dia sempat ragu sudah menghitung dengan benar. Tidak ada tanda mencolok yang bisa dia jadikan patokan. Semua bangunan di sekelilingnya terlihat sama.

Bangunan satu atau dua lantai, rusak parah di banyak bagian, dan berdinding kusam. Warna cerah apa pun yang dulu pernah menghias bangunan-bangunan itu kini sudah tak tampak, mengalah pada cuaca dan invasi lumut yang tumbuh begitu subur. Pintu dan jendela sudah tidak pada tempatnya. Sebagian besar menyerpih dan melapuk, hanya menyisakan potongan-potongan kayu berlubang dan terkoyak.

Rumput liar menjadi satu-satunya pemandangan hijau yang tampak. Di teras, di halaman bangunan, juga di sebagian besar bahu jalan yang penuh oleh rongsokan logam bekas kendaraan.

Benar-benar sulit dipercaya perbedaan kota mati ini dengan metropolitan tempat wanita itu berasal. Jarak kedua kota itu hanya terpaut beberapa kilometer saja, tetapi begitu wanita itu memasuki kota mati ini, dia seolah baru saja terlempar ke dimensi yang berbeda. Ke masa berpuluh-puluh tahun lalu. Masa tersulit pasca-Bencana Agung.

DRU (Timun Mas Story in a Dystopian World)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang