chapter 24: symptoms [2024]

Start from the beginning
                                    

"Yeah," anggukku. "Tapi perasaan shock dan kecewa nggak bisa dihindari, kan?"

Hanya tatapan iba yang selanjutnya kuterima dari Red Hawk. Seperti biasa dia menepuk-nepuk pundakku, lalu menyerah, pergi ke sisi lain kabin pesawat. Akhirnya mengerti kalau aku butuh waktu untuk sendiri.

Selepas kepergiannya, aku menghela napas. Apa yang Red Hawk duga tentang cara Liv memberontak sebenarnya sejalan dengan yang kupikirkan tentang lukisan The Goddess Diana With A Lion. Bukan tidak mungkin kalau Liv memang sengaja memadukan dua unsur itu menjadi ekspresi kemarahannya di atas panggung. Yah, aku masih berusaha yakin dia tidak akan mencintai orang lain.













Sayangnya, dia terus membuatku ragu.

Kukira kami bisa bertemu lagi dua atau tiga hari kemudian. Tapi bahkan sudah seminggu berlalu Liv bilang dia masih belum bisa kembali. Bagaimana kalau setelah pertunjukan ternyata Liv bersama dengan Don sampai sekarang? Bagaimana kalau dia tidak dibolehkan pergi lagi? Bagaimana kalau ternyata pertunjukan aria adalah kali terakhir aku bisa melihatnya?

Aku berusaha menyibukkan diri, mengalihkan berbagai pikiran negatif yang mengganggu. Dari luar aku yakin orang-orang tidak akan tahu betapa pikiranku sedang kusut, tapi di dalam aku makin kacau. Bingung harus sedih atau marah pada siapa. Selama ini aku hanya mengeluh pada Tuhan, tapi kurasa sekarang pertahananku sudah runtuh. Aku butuh seseorang untuk bersandar.












"Eh- siapa sih? Daniel??" kakakku terbangun, padahal aku baru merangkak naik ke atas kasurnya. "Astaga ㅡMark, kamu ngapain???"

"Istrimu tidur sama Daniel kan?" tanyaku.

"Iya. Kenapa? Kamu mau gantian tidur sama Daniel? Boleh, sana cepet. Sejak Daniel sakit aku tidur sendiri ㅡIH MARK LEE, NGAPAIN SIH? INGET TUHAN, JANGAN INCEST!"

Walaupun James meronta, tapi tetap kupeluk dia. "Pikiranmu kotor banget ya," gumamku. "Diem, aku lagi tertekan."

"Nggak tanya. Pergi sana ㅡatau mau ditendang?!" usir James.

"Huahh... akhirnya bisa ngerasain lagi punya kakak," aku malah mendekapnya makin erat bagaikan guling.

"Creepy. Go away, pervert. Bury your face on Liv instead," James mendorongku sambil bergidik ngeri.

Tanpa melawan akhirnya aku telentang lemas. Menatap langit-langit kamar. Bisa kurasakan kakakku menatapku kebingungan. Atau bukan bingung, tapi mengira aku stress.

"Are you drunk?" akhirnya dia bertanya, lalu menjawab sendiri. "Enggak ah kayaknya."

"Yeah, not drunk. Just sad," sahutku.

"Why?"

Tidak langsung menjawab, aku berguling ke samping supaya menghadap James. Dia menungguku curhat. Rasa keponya jauh lebih tinggi daripada keinginan untuk mengusirku.

"James," ujarku. "Menurutmu aku sama Liv cocok nggak?"

Dia terkekeh. "Mau jawaban bohong atau jujur?"

"Serius, James."

"Hmm..." kakakku ikut berguling menyamping juga. "Walaupun lebih jelek dari aku, tapi kamu nggak jelek-jelek banget loh Mark. Jangan minder gitu dong."

"ISH!!" kupukul James dengan bantal. Sempat-sempatnya dia usil.

"Hahahaha sorry. Just kidding, okay. Emang kenapa tiba-tiba kamu insecure? Ke mana Mark Lee yang tengil??"

"Liv udah punya calon suami yang dipilih keluarganya."

"H-hah?" seketika James berhenti tertawa. Ia menatapku serius. "Seriously??"

More Than FrenemyWhere stories live. Discover now