chapter 24: symptoms [2024]

7.3K 1.5K 866
                                    

The Goddess Diana With A Lion, lukisan terkenal karya Angelo Graf von Courten

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

The Goddess Diana With A Lion, lukisan terkenal karya Angelo Graf von Courten. Itu yang pertama kali kuingat begitu melihat Livia Byun menggiring singa jantan di panggung pertunjukan. Persis seperti Diana dalam lukisan karya Angelo Graf ㅡwalaupun tentunya Liv tidak bertelanjang dada sambil membawa senjata berburu.

Diana adalah dewa dalam mitologi Yunani yang melambangkan kecantikan, keberanian, dan alam liar. Uniknya, persembahan untuk Diana diadakan tiap tanggal 13 Agustus ㅡsama seperti tanggal lahir Liv. Kisah cinta Diana juga dikisahkan penuh liku, tapi dia selalu memperjuangkan hidupnya dan rakyat jelata serta binatang liar. Sebagian besar penonton mungkin mengira dia perempuan gila, tapi kurasa pesan itu yang ingin Liv sampaikan lewat penampilannya.

Seperti disihir, saat itu singa jantan yang dibawa Liv menurut dan duduk dengan tenang sepanjang pertunjukan. Sementara itu bagaikan mimpi aku melihat sekaligus mendengar seorang Livia Byun menyanyikan lagu opera. Sangat baik untuk ukuran orang yang setahuku tidak pernah melatih suaranya dan makan sangat sembarangan. Bisa jadi bakat alami ㅡLiv memang masih saja penuh misteri.

Selama bernyanyi Liv tersenyum dan terus menatap lelaki di balkon. Sulit untuk mengartikan senyum itu dari jarak yang lumayan jauh. Apa pun itu, hatiku sangat panas. Sejak melihat Liv di atas panggung sampai aku dan Red Hawk kembali ke jet kami, aku hanya bicara seperlunya. Energiku seolah mendadak terkuras habis. Cuma ingin menghempaskan diri di kasur. Lalu tidur atau lupa ingatan.










"Nesun Dorma," gumam Red Hawk ketika kami sudah di pesawat lagi, menyebut judul aria yang tadi Liv bawakan. "Itu lagu yang sangat populer. Anda pasti tau."

"Puccini, kan?"

"Tapi anda tau artinya?"

"Nope," jawabku singkat tanpa menunjukkan ketertarikan.

"Nobody shall sleep.
Even you, Princess, in your cold room, watch the stars that tremble with love and with hope.
On your mouth, I will tell it when the light shines.
And my kiss will dissolve the silence that makes you mine.
At dawn, I will win.
I will win.
I will win."

Red menyebutkan bait demi bait sementara aku menyimak. Setelah mencerna sesaat, akhirnya aku menoleh padanya.

"So?" tanyaku.

"Saya rasa Livia Byun memilih lagu itu sebagai bentuk protes terselubung. Dari penggalan syair lagu, apalagi biasanya Nessun Dorma lebih umum dinyanyikan laki-laki," ujar Red. "Bahkan dari jauh saya bisa merasakan aura kemarahannya. Liv menunjukkan kalau dia tidak ingin ada di sana, dan suatu saat akan 'menang'. Tidak mau dipaksa lagi melakukan hal yang ia tidak suka."

Lagi-lagi aku diam mencerna kata-kata Red Hawk, lalu terkekeh pelan. "Itu kan cuma perkiraan."

Red Hawk menghela napas. "Saya tau anda shock dan kecewa, tapi bukannya anda sendiri yang bilang dia pasti cuma terpaksa?"

More Than FrenemyWhere stories live. Discover now