3

391 23 7
                                    

"Anak cowok yang nggak bisa main bola itu namanya apa?" teriak Dito.

"Banciii!" jawab anak-anak lainnya dengan kompak.

"Jadi, siapa yang banci?" tanya Dito lagi.

"Argaaa!" jawab anak-anak itu sambil tertawa mengejek.

Arga menangis. Setelah gagal menendang bola dan terjatuh ke lapangan, kini ia diejek teman-teman sekelasnya dengan sebutan banci. Ejekan itu terdengar familier, pernah diucapkan seseorang kepada Arga. Ejekan yang begitu menyakitkan.

"Hahaha... gitu aja nangis. Dasar cengeng! Dasar banci!" cecar Dito. "Siapa pun yang temenan sama Arga, berarti dia sama-sama banci."

Akibat dari kata-kata yang diucapkan Dito, hampir semua anak laki-laki di kelas 1-A tidak mau berteman dengan Arga. Kecuali, seorang anak laki-laki bernama Fajar.

"Kenapa Fajar mau jadi teman Arga?" tanya Arga suatu hari, dalam perjalanan mereka pulang sekolah.

"Memangnya nggak boleh?"

"Bolehlah. Cuma, Fajar nggak takut dikatain banci juga?"

"Kenapa harus takut? Kita berdua kan, bukan banci. Lagian, kalaupun banci, memangnya kenapa?!"

"Fajar bisa bilang gitu karena Fajar bisa main bola,"

Fajar tertawa. "Kalau anak cowok yang nggak bisa main bola dikatain banci, lalu anak cewek yang jago main bola bakal dikatain apa?"

Arga mengedikkan bahu. "Arga benci sama Dito! Coba aja badan Arga lebih gede dari Dito. Udah Arga hajar dia habis-habisan!"

"Aku bisa hajar dia."

Arga tak percaya. Badan Fajar sama kecilnya dengan badan Arga. Fajar pasti hanya membual atau menghibur diri.

"Kenapa? Kamu nggak percaya?" tebak Fajar, tepat seperti yang Arga pikirkan.

Arga tidak menjawab.

"Lihat aja besok."

Keesokan harinya, Fajar benar-benar membuktikan kata-katanya. Begitu Dito tiba di kelas, Fajar menghampirinya dan tanpa tedeng aling-aling langsung meninju wajahnya. Pukulan berikutnya terjadi dalam rentang waktu yang cepat dan lebih keras. Fajar tak mengizinkan Dito membalas serangannya. Saat Dito hendak melayangkan pukulan, seorang anak menunjuk wajahnya sambil berteriak, "Darah!" Dito pun mulai menyadari lubang hidungnya meneteskan sesuatu. Urung melayangkan pukulan, Dito menyentuh tetesan itu untuk memastikannya. Ia pun jatuh pingsan setelah melihat darah di jari tangannya.

*

"Anak cowok yang pingsan cuma karena ngeliat darah terus ngadu sama guru itu namanya apa?" teriak Fajar pada hari berikutnya, saat Dito tiba di kelas.

Tak ada yang menjawab banci atau semacamnya. Mungkin teman-teman sekelasnya masih lebih takut kepada Dito daripada Fajar.

Dito menghampiri meja Fajar dan Arga dengan tampang sangar, lalu menggebrak meja dengan kasar. Matanya tajam menatap Fajar.

"Mau kutonjok lagi?" ancam Fajar sambil mengacungkan kepalan tangan.

"Kalau berani, jangan main kekerasan!" sergah Dito. "Kita adu penalti di lapangan."

"Ayo! Siapa takut?!" Tantangan diterima Fajar.

"Yang kalah, dapet hukuman."

DasterWhere stories live. Discover now