2

561 24 4
                                    

"Arga di sini aja," lirih anak lelaki berusia tujuh tahun itu. "Arga malu."

"Nggak usah malu, Arga bisa kenalan dulu sama mereka," bujuk Gunawan dengan sabar. "Mereka anak-anak yang baik dan seru, lho."

Arga menggeleng. "Arga gambarin mereka aja ya, Pak? Arga bawa buku gambar dan pensil warna."

"Bapak ngajak Arga ke sini bukan untuk bikin gambar, tapi supaya Arga bisa ikut latihan sepak bola bareng mereka." Gunawan menunjuk sekelompok anak laki-laki di lapangan.

"Arga kan udah bilang sama Bapak, Arga nggak suka main bola."

Gunawan mengambil napas panjang dan dalam, berusaha bertahan di titik sabar. "Iya, Bapak tahu. Tapi Bapak yakin, lama-lama Arga bakalan suka. Sepak bola itu olahraga yang paling seru. Selain bisa membuat badan kita sehat dan kuat, juga bisa membuat hati kita senang."

"Di sekolah, teman-teman Arga malah berantem waktu main bola. Di TV juga ada orang berantem setelah nonton pertandingan sepak bola. Apa itu yang membuat hati kita senang bermain bola?"

"Oh, itu cuma...." Gunawan berusaha mencari jawaban yang tepat dan mudah dicerna. "Begini. Setiap hal di dunia selalu punya sisi baik dan buruk. Yang Arga bilang itu cuma sedikit sisi buruknya aja. Teman-teman Arga di sekolah dan orang-orang di berita itu berantem cuma karena salah paham. Pertandingan sepak bola justru mengajarkan kita untuk bersikap sportif—maksud Bapak, bersikap jujur, kesatria, dan bisa menerima kemenangan atau kekalahan dengan ikhlas dan lapang dada."

"Tapi kayaknya, mereka nggak pernah ngerti soal itu, Pak."

"Maksud Arga?"

"Main bola ya main bola, bukan pelajaran budi pekerti. Ngejar-ngejar bola, ngerebut bola dari kaki lawan, mengoper bola ke kaki teman, menendang bola ke gawang lawan. Yang mereka pikirin ya cuma soal gimana caranya biar bisa menang."

Meski agak terkejut dengan jawaban Arga, Gunawan sebisa mungkin memberi pemahaman yang positif. "Mungkin, pada awalnya semua orang yang bermain sepak bola memang kayak gitu. Tapi percaya deh, sama Bapak. Jiwa sportivitas akan muncul di dalam diri mereka seiring seringnya waktu berlatih dan bertanding."

Arga terdiam, lalu perlahan mengangguk. Melukiskan selengkung senyum di wajah Gunawan.

Bunyi peluit terdengar dari lapangan. Sang pelatih akan segera memulai sesi latihan bersama dua belas orang anak laki-laki berusia tujuh sampai sepuluh tahun.

"Jadi, Arga mau ikut latihan, kan?!" tanya Gunawan, penuh harapan.

Wajah Arga tampak tertekan. Tiada raut kebahagiaan seperti yang selalu terpancar di wajah Gunawan kecil di masa lalu setiap kali hendak bermain sepak bola. Gunawan kecil yang jatuh cinta pada sepak bola dan bercita-cita menjadi bagian dari Persib, bahkan timnas Indonesia.

Akhirnya, Arga mengangguk. Ia bersedia turun ke lapangan untuk mengikuti sesi latihan pertamanya.

Gunawan bersorak bahagia, seakan baru saja mencetak gol kemenangan setelah melewati berbagai rintangan dari tim lawan. Ia menggendong Arga ke lapangan. Penantiannya selama tujuh tahun sejak Arga dilahirkan akan segera terbayar. Salah satu momen penting dalam hidupnya akan segera terjadi. Melihat buah hatinya berlatih sepak bola bersama seorang pelatih profesional dan selusin calon bintang lapangan di masa depan.

Arga Putra Gunawan akan menjadi salah satu atlet kebanggaan yang mengharumkan nama Indonesia di ranah sepak bola. Buah hatinya tersayang itu akan melanjutkan cita-cita Gunawan yang tak tercapai.

DasterWhere stories live. Discover now