1

837 33 4
                                    

Arga mengendap-endap memasuki kamar orangtuanya. Jantungnya berdegup sangat cepat. Bagaimana kalau ibunya tiba-tiba muncul dari kolong ranjang? Arga tahu, saat ini ibunya sedang nongkrong di teras rumah tetangga. Namun, ia juga tahu kalau ibunya terkadang bisa muncul secara tak terduga dan dari arah yang tak disangka-sangka. Seperti, ketika Arga sedang asyik menggambar di saat seharusnya ia mengerjakan PR Matematika, tahu-tahu saja ibunya sudah berdiri di belakangnya.

Arga berjongkok, memastikan ibunya—duplikat ibunya atau siapa pun—tak ada di kolong ranjang. Aman. Ia kembali berdiri dan melanjutkan aksi. Matanya lurus menatap lemari pakaian. Kali ini, ia sangat yakin ibunya takkan serta-merta keluar dari situ.

Tangannya bergetar saat memutar kunci dan membuka lemari. Sesuatu yang diincarnya berada di tempat yang cukup terjangkau. Arga berjinjit dan mengulurkan tangannya untuk meraih benda itu.

Getaran tangannya semakin menjadi-jadi saat ia berhasil menyentuh daster berwarna ungu gradasi ke merah muda. Daster itu berada di tumpukan paling atas pada baris kedua lemari pakaian. Arga berhasil mengambilnya tanpa menjatuhkan pakaian lain di sekitarnya.

Arga buru-buru menutup lemari dan bersiap-siap pergi. Saat menatap cermin di sisi pintu lemari yang baru ditutupnya, Arga terkejut dan seketika menjerit. Ia melihat bayangan seseorang.

*

"Ambil saja, Bu Astuti. Saya sudah banting harga semurah-murahnya, lho, untuk barang sebagus ini. Saya kasih harga tetangga. Di ITC, baju ini dibanderol tiga ratus ribu!"

"Enggak ah, Bu Iis. Buat saya mah, dua ratus ribu masih kemahalan. Lagi pula, baju saya masih banyak di lemari. Kalau terus-terusan beli, mau ditaruh di mana lagi?"

"Gampang atuh, Bu Astuti," komentar Mira. "Tinggal beli lemari baru saja, atau baju-baju yang lama dihibahkan ke orang-orang yang membutuhkan."

Astuti tersenyum. "Kalau begitu, Bu Mira aja yang beli baju ini."

"Bukannya saya nggak mau. Masalahnya, kulit saya ini gelap, nggak cocok pakai baju warna pastel begitu. Kalau Bu Astuti kan, kulitnya putih dan bersih, cocok pakai baju warna apa saja. Nggak akan kelihatan buluk kalau pakai baju yang warnanya pudar."

"Ah, Bu Mira mah bisa aja. Warna apa pun yang kita pakai akan terlihat cocok dan pantas kalau kita merasa nyaman dan percaya diri."

"Iya sih, Bu, tapi kita juga kudu tahu diri. Dan kebetulan, saya memang kurang suka dengan warna-warna pastel."

"Nih, saya punya baju warna-warna ngejreng." Iis mengeluarkan dres berwarna merah, oranye, dan biru cerah. "Cocok buat Bu Mira."

"Berapaan nih, Bu?" tanya Mira.

"Harga tetangga. Seratus tujuh puluh lima ribu aja."

"Nggak bisa kurang? Masa harga tetangga segitu?"

"Eh, kalau Bu Mira cari di ITC, ini harganya paling murah dua ratus lima puluh ribu."

"Masa, sih? Di Gede Bage, baju kayak gini nggak sampai seratus ribu, lho!"

"Bu Mira teh tahu barang, enggak?" Iis mengeluarkan dres berwarna merah dari plastiknya. "Nih, Bu Mira pegang sendiri. Kainnya kualitas premium. Barang Gede Bage memang murah, kelihatannya sama, padahal kalau diperhatikan lebih saksama, kualitasnya jelas beda. Harga mah nggak akan bohong, Bu."

"Ya atuh jangan segitu harganya, dikorting lagi," tawar Mira.

"Ini teh udah harga korting, Bu Mira. Saya bilang juga harga tetangga." Iis kemudian merendahkan volume suaranya. "Nih ya, kalau ke RT sebelah, saya banderol baju ini dua ratus ribu."

"Hm... ya sudah, seratus tujuh puluh lima ribu saya ambil, tapi dicicil tiga kali, ya!"

"Aduuuh... Bu Mira, Bu Mira!" geleng Iis. "Ibu teh mau merampok saya apa bagaimana?"

Sejak suaminya di-PHK dan kerja serabutan, Iis beralih fungsi dari ibu rumah tangga menjadi penjual pakaian, door to door di lingkungan kompleks setiap hari Sabtu, dan membuka lapak di Pasar Kaget Gasibu setiap hari Minggu. Di dalam tas besarnya ada puluhan setel pakaian. Tubuh kurusnya terpaksa memikul tas berat itu seharian. Demi bertahan hidup. Supaya dapurnya tetap ngebul dan anak-anaknya tak putus sekolah.

"Bu Astuti beneran nggak mau ambil baju ini?" Iis masih gigih. "Boleh dicicil dua kali kayak Bu Mira."

"Enggak, Bu. Lain kali aja, ya." Astuti menggeleng sambil tersenyum sopan.

"Baiklah kalau begitu." Iis membereskan barang dagangannya sebelum pamit. "Sampai bertemu hari Sabtu depan ya, Ibu-Ibu. Saya bakalan bawa model-model pakaian terbaru yang pastinya menggoda mata Bu Astuti dan Bu Mira."

Astuti tak pernah khawatir nasibnya akan seperti Iis. Gunawan sang suami masih muda dan bekerja sebagai staf administrasi perusahaan plastik di Purwakarta. Meski tidak terbilang banyak, gaji Gunawan cukup untuk menghidupi keluarga kecil mereka. Perusahaan memberi fasilitas mes bagi karyawan luar kota, sehingga ia tak perlu mengalokasikan dana untuk menyewa kamar. Setiap akhir pekan, Gunawan pulang ke Bandung untuk melepas rindu dengan istri dan anak semata wayangnya.

Sepuluh tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama Gunawan, Astuti merasa hidupnya berkecukupan. Ia mulai dihantui rasa kekurangan sejak Arga masuk SD, pertengahan tahun lalu. Sekolah negeri atau pun swasta, bergengsi atau pun tidak, biaya pendidikan tetap menjadi PR bagi orangtua. Pada akhirnya, ia harus mengorbankan kebutuhan tersiernya, bahkan beberapa kebutuhan sekundernya. Apalagi, dua minggu yang lalu, Gunawan mendaftarkan Arga di sebuah klub olahraga.

Berbeda dengan Mira—istri sang mandor proyek, Astuti tak bisa membeli semua barang yang diinginkannya. Ia harus mengedepankan azas manfaat dalam setiap keputusan berbelanjanya. Bulan lalu, ia membeli sebuah daster tanpa lengan dari Iis. Perasaan berdosa karena ia masih punya dua buah daster batik yang layak pakai, pada akhirnya terkalahkan perasaan berdosa jika ia sampai hati tak pernah membantu Iis. Lagipula, harga daster berwarna ungu gradasi ke merah muda itu murah meriah.

"Permisi, Ibu-Ibu." Seorang pengamen berhenti di depan pagar rumah Mira, membuyarkan lamunan Astuti. Waria berpenampilan menor dan mengenakan hot pants serta stoking jaring itu bertanya, "Eikeu boleh ikut ngamen, ya?"

"Boleh," jawab Mira. "Bisa rekues lagu, kan?!"

"Mau lagu apa? Semua lagu eikeu bisa."

"Jatuh Bangun."

"Oh, Jatuh Bangun mah gampang." Si pengamen mengibaskan rambut panjang ombre-nya kemudian mulai membetot bas yang digendongnya. Ia pun mulai menyanyi. "Masih terngiaaang di telingakuuu biiisik cintamu...."

"Lho, lho, lho?" Mira menginterupsi. "Saya rekues lagu Jatuh Bangun, bukan Terlena."

"Aduh, Ibu, sore-sore begini enaknya dengerin lagu yang manis manja daripada lagu sedih. Lagu Terlena aja, ya?"

Mira bertukar tatap dengan Astuti lalu memutar bola mata. "Ya udah deh, terserah iyey."

Saat si pengamen sedang bernyanyi dengan suara ala kadarnya dan bergoyang dengan gerakan gemulai, sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar rumah Astuti. Seorang pria menggendong ransel turun dan membayar ongkos ojek.

"Si Aa pulang, tuh!" Mira memberi tahu Astuti.

"Sungguuuh aku bahagiaaa, beeenih cinta yang kau tanaaam, bersemiii indah di haaati...." Lagu itu mengalun mengiringi langkah Astuti menyambut kepulangan sang suami.

*

Arga merasa konyol. Ia terkejut melihat bayangannya sendiri. Jantungnya mencelus dan rasanya seperti turun beberapa senti meter. Setelah menenangkan diri, ia keluar dari kamar orangtuanya, dan berlari menuju kamarnya di sebelah.

Di dalam kamarnya, ia berdiri di depan cermin. Kedua tangannya memegangi daster itu, menempelkannya di dada. Selama beberapa detik, Arga menatap bayangan dirinya di cermin. Ia tersenyum. Misinya berhasil. Daster itu kini menjadi miliknya.

DasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang