Di Balik Pohon Beringin

196 29 141
                                    

Sehabis mengajar, Nisa duduk di gedung utama. Saat itu inderanya yang paling tajam adalah mata, karena selama lebih dari setengah jam, dia hanya memandangi mural di tembok taman kanak-kanak tempat dia bekerja baru-baru ini. Gambar itu serasa tertanam erat di dalam kepalanya, sehingga untuk berpaling sebentar pun, Nisa tidak bisa. Wanita paruh baya itu baru bisa berpaling setelah sedikit demi sedikit tubuhnya bermandikan sinar matahari yang menembus atap kaca. Pelu menetes dari dahinya sebelah kiri, telapak tangannya mulai lembap. Sehabis menyapukan dahi dan telapak tangannya, dia kembali menatap tembok berlatar pohon beringin itu. Sesungguhnya dia tidak sedang termenung. Telinganya masih tetap mendengar percakapan rekan-rekan kerjanya dari toilet, ruang olahraga dan juga isi percakapan kepala sekolah bersama seseorang di telepon. Seorang wanita yang wajahnya tak lagi asing menepuk pundak Nisa dari belakang.

"Nis, sudah makan siang?"

"Belum."

"Mau bareng?"

"Boleh."

Sesampainya di kafe, hanya ada sepuluh orang pelanggan di sana, sudah termasuk mereka. Nisa baru seminggu bekerja di sana dan belum tahu banyak tentang rekan-rekannya, termasuk gadis bernama Wayan yang saat ini duduk di hadapannya. Sejauh ini, setahu Nisa, Wayan adalah satu-satunya rekan yang selalu mengajaknya makan bersama sejak hari pertama masuk bekerja. Usianya 32 tahun, sama dengan Nisa. Wajahnya ayu seperti gadis-gadis Bali pada umumnya, namun entah mengapa dia sangat familiar di ingatan Nisa. Senyumnya sangat ramah, gaya bicaranya sangat akrab, bisa dibilang 'sksd.'

"Nis, kamu bilang kamu pernah jadi wartawan kan? Cerita dong,"

"Kamu tahu dari mana?"

"Kamu."

"Aku tidak ingat pernah cerita ke kamu mengenai itu."

"Masa kamu lupa?"

Seorang pelayan kafe menghampiri meja mereka. Sekarang, ada dua piring salad dan dua gelas jus jeruk di atas meja. Wayan menyicip, kepalanya menunduk, namun pandangannya sedikit melirik, mengarah pada Nisa penuh harap. Melihat sikap rekannya itu, Nisa menggigit ujung bibirnya.

"Emm. Memangnya apa yang ingin kamu tahu?"

"Apa pun."

Rupa-rupanya, dari gelagatnya, Wayan ini ibarat anak kecil egois yang sebelum tidur harus diberi dongeng. Tidak bisa dipungkiri, Nisa sebenar-benarnya tidak rela berbagi kisah pribadi kepada orang yang baru dia kenal. Tadi pagi saja, sebelum berangkat bekerja, tak sengaja dia berpapasan dengan bapak kosnya. Saat ditanya asalnya dari mana dan pekerjaannya apa, 'Bugis,' jawabnya singkat dengan wajah datar ala kadarnya. Ya, memang Nisa ini dulunya adalah seorang wartawan, bergabung dalam berbagai komunitas menyangkut sastra dan jurnalistik. Kegiatan utamanya selain kuliah ya berburu berita ke sana-sini. Apa yang dilakukannya adalah hal-hal yang dilakukan oleh wartawan pada umumnya. Gaji yang dia peroleh tidak sebanyak yang dia dapatkan di tempat kerjanya sekarang ini. Kalau seandainya digaji saja, sudah syukur, sebab media tempat dia bernaung tidak setenar dan sebesar media-media lain. Bosnya sendiri hanya mampu menggajinya dengan nominal yang minim, bahkan beberapa rekan kerjanya saat itu lebih memilih menganggur dari pada bekerja di tempat itu. Nisa menganggap menjadi wartawan bukanlah suatu pekerjaan, melainkan tugas mulia yang didatangkan dari surga. Baginya, yang terpenting bukan soal uang, namun seberapa menariknya judul-judul berita yang dia tulis dan dapat dicerna oleh pembaca.

Kafe yang mereka datangi sudah semakin ramai, maklum saja, saat ini jamnya istirahat. Bayangan Nisa melesat jauh pada masa lalu. Ini adalah pertama kalinya Nisa merasa sedang diwawancara dan bukan malah mewawancara. Tangan Nisa saling mengusap-usap, lalu dilipatnya, seraya dia letakkan di atas meja.

ZiarahWhere stories live. Discover now