Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung

Start from the beginning
                                    

"Aku ikut prihatin, Kak." Ai mengusap lenganku.

"Kakak kalah telak!" ujar Mamet lagi.

Reaksi mereka yang berlebihan membuatku mengusap pelipis sambil berdoa semoga pening tidak hadir sepagi ini. Belum lagi jam kerja, masa kepalaku harus mendapat asupan parasetamol?

"Gue kan nggak punya hubungan apa-apa sama dia. Gimana, sih, kalian? Terus apa pula itu maksudnya kalah telak?" tanyaku pada Mamet yang langsung memamerkan giginya.

"Aku lihat di foto, rambut dokter itu bagus banget. Hitam, mengkilap dan lurus panjang. Kalau itu tipe cewek kesukaan Kak Baron, kakak kalah telak-lah."

Aku tahu Mamet menyindir rambutku yang berlebihan gelombangnya alias keriting. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan rambutku. Memang keriting ini kadang mengganggu apalagi kalau sedang bad hair day dan dia mengembang sebesar sarang lebah. Namun, aku rajin merawatnya. Tidak ada rambut bercabang atau kering.

"Gue nggak pernah keberatan punya rambut keriting!" seruku agak keras.

"Iya, gue tahu. Nggak usah kencang-kencang." Baron menyahut. Aku kaget sekali ketika pintu mendadak terbuka.

"Nih, oleh-oleh buat kalian. Cassandra pasti ngebeliin segala macam makanan, ya? Tiba-tiba saja dia kalap beli segala macam sampai gue takut bakalan over baggage." Baron menyerahkan kantung berisi kaus pada anak-anak magang dan Ela yang bersorak sorai bergembira menerima oleh-oleh kaus.

"Gue nggak kalap! Siapa ya yang sibuk video call demi beli oleh-oleh?" kecamku kesal.

Baron memang melakukan panggilan video dengan dokter Vida untuk menanyakan oleh-oleh yang tepat untuk teman-teman kantor. Kata dokter Vida, benda lebih mudah diingat dibanding sekedar makanan. Ucapan itu membuatku kesal, jadi aku memborong banyak makanan, yang kata Baron bisa buat menghidupi orang selama satu bulan kalau ada serangan zombie.

"Cemburu, ya?" goda Baron.

"Tolong, deh, ya? Ngapain juga cemburu?" Aku kesal bukan main. Ini orang bukannya langsung pergi setelah memberikan oleh-oleh, malah memancing rasa marahku.

"Yah, siapa tahu ada yang cemburu terus beli separuh toko oleh-oleh karena kesal?"

Ucapannya telak mengenaiku. Aku memang kesal tapi bukan berarti cemburu. Wajahku merah padam, antara marah dan malu. Sementara itu keributan di dalam ruanganku sudah mereda berganti dengan tatapan penuh arti dari empat orang yang menontonku dan Baron berdebat.

"Udah! Sana balik ke tempat kerja masing-masing. Kita bukan ada di Wimbledon." Aku mendorong Ela dan Baron untuk keluar dari ruangan.

"Senang, deh, lihat lo balik marah-marah lagi. Lo tahu nggak, El? Dua hari belakangan Cassandra kaya ayam mau disembelih. Layu!" Baron mengoceh pada Ela yang tertawa-tawa.

"Kalau layu itu tanaman, bukan ayam!" seruku kesal.

"Nah, yang kaya gini gue seneng, El. Lucu lihat Cassandra marah-marah."

Kudorong Baron yang masih saja tertawa-tawa keluar dari ruangan setelah itu kembali menutup pintu. Aku sebenarnya tidak terlalu suka ruangan yang bersekat-sekat. Ruangan lamaku berukuran empat kali lebih besar dengan jumlah orang lima kali lebih banyak. Jadi sebisa mungkin, pintu ruanganku yang sekarang ini selalu terbuka lebar.

"Mulai kerja," kataku seraya berjalan ke arah meja kerja.

"Kak, pintunya dibuka saja, ya? Gerah!" Ucapan DJ itu tidak masuk akal. Ada pendingin ruangan yang diatur secara sentral.

"Hari ini pintu ditutup." Ucapanku disambut dengan keluhan.

Ruangan ini memang memiliki kaca-kaca besar, tapi ketika ditutup memang kami seolah terpisah dari bagian lain. Berhubung perasaanku yang sedang kesal, keputusan menutup pintu tidak bisa dibantahkan.

"Aku berubah pikiran," kataku lagi.

Mamet memandangku dengan mata bersinar-sinar, mengira kalau aku akan membuka pintu ruangan. Dia langsung berdiri dengan sigap. Siap untuk membuka pintu kembali ketika aku memanggilnya.

"Pintu tetap tertutup! Bereskan dulu timezone ini sebelum kerja!" Aku melambai ke permainan-permainan yang tersebar di penjuru ruangan. Bercampur dengan makanan, kue-kue dan kaus oleh-oleh dari Surabaya.

Aku melihat sekeliling ruangan. Ada papan catur di atas galon air, ada papan dart yang tergantung miring di dinding sementara penunggu dinding yang sebenarnya tergolek lemah di meja kosong bersama pirates game. Aku curiga sebelumnya mereka membawa lebih banyak lagi barang.

"Kalian pasti kebanyakan main kemarin. Laporan diserahkan ke aku pagi ini juga!" seruku lagi saat mereka bertiga merapikan barang-barang yang berserakan sambil menggerutu. Mendengar ucapanku, mereka semakin mengeluh.

"Dasar sipir!" gerutu Mamet yang langsung terdiam saat kupelototi.

Setelah memastikan semua mainan sudah ditumpuk menjadi satu dan oleh-oleh dirapikan, aku baru bernapas lega. Hari itu aku bekerja cepat untuk membuat laporan dan menyerahkannya pada Timon yang akan mengolah seluruh laporan kegiatan kami sebelum mengirimkannya ke manajemen.

Menjelang sore, aku memeriksa proses project para anak magang. Ai membuat tampilan website yang menurutku berlebihan sementara proses DJ melenceng karena dia mempunyai ide baru. Untunglah Mamet tidak membuat ulah karena kalau itu terjadi, bisa dipastikan aku meminum satu strip parasetamol hari ini.

Aku melewatkan makan siang karena belum membuat laporan bulanan yang harus diserahkan besok. Laporan tetap harus di analisa dan prosesnya akan memakan waktu cukup lama. Aku sedang tidak ingin lembur. Setelah meninggalkan mama sendiri selama seminggu, aku ingin menghabiskan malam bersama dengan perempuan yang telah melahirkanku itu.

"Cassie, tangkap!" Pintu terbuka mendadak dan sebuah tuna onigiri melayang di udara. Nyaris saja aku tidak bisa menangkapnya.

"Baron! Makanan jangan dilempar-lempar!" seruku masih kaget.

"Jangan ngelewatin makan siang. Nanti sakit." Baron tidak peduli pada ucapan dan teriakanku. Laki-laki itu sudah menghilang dari ambang pintu sebelum aku sempat mengucapkan terima kasih.

Orang yang aneh. Sebentar menyebalkan, tapi terkadang bersikap baik. Kuangkat bahu. Tuna onigiri yang dijual di koperasi kantor ini terkenal enak dan cukup praktis untuk orang yang tidak sempat makan siang sepertiku saat ini.

*
Catatan peribahasa:

Angin bersiru, ombak bersabung = Perkara yang sulit.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now