Kasus Pertama

57 12 3
                                    


Sekitar pukul tujuh malam Pelita dan Niko tiba di kediaman Oma Yani dan Opa Arif, orang tua dari Pelita. Keduanya sudah tak sabar untuk menjemput sang putri yang sejak kemarin dititipkan di sini. Rumah berlantai dua itu terlihat mewah dengan tiang pondasi besar yang menancap kokoh dan perkasa. Cat berwarna krem yang dipilih melapisi dinding rumah membuatnya semakin terlihat elegan dan mahal. Menurut Oma Yani, rumah itu adalah simbol kesuksesan dirinya dan suami sebagai pengusaha. Sayang, kedua anaknya tak ada yang mau mengikuti jejaknya.

Pintu rumah terbuka lebar saat Niko dan Pelita datang. Keduanya disambut begitu hangat oleh kedua orang tua Pelita yang ikut mengkhawatirkan Niko ketika pesawat yang dinaikinya kemarin sempat hilang kontak.

"Aksa mana, Ma?" tanya Pelita sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut rumah.

"Ah, adikmu itu sibuknya minta ampun. Katanya sih ikut BEM dan kegiatan kampus apalah gitu. Sampai rumah bisa jam sepuluh malam," jawab Oma Yani dengan raut wajah kesal. Bagaimana tidak, sebagai anak lelaki yang harusnya bisa diandalkan malah jarang ada di rumah. Mereka yang hanya tinggal berempat bersama Aksa dan seorang Asisten Rumah Tangga seringkali merasa hanya tinggal bertiga karena Aksa juga sering menginap di kampus atau di rumah temannya.

Setelah berbasa-basi sebentar, Niko meminta diri untuk bertemu Amira yang masih main di kamarnya.

"Oh iya, Nik, sekalian suruh makan Amira. Kalian juga makan, ya! Mama udah nyiapin masakan kesukaan kalian, lho!" ujar Oma Yani ketika Niko berjalan menuju kamar Amira. Sementara itu, Pelita dengan cekatan membantu ibundanya menyiapkan makan malam spesial untuk menyambut suaminya yang baru saja pulang dengan selamat dari tugas yang amat berat.

"Papa!" Amira bersorak riang dengan mata berbinar ketika melihat Niko berdiri di depan pintu kamarnya. Tanpa banyak kata gadis kecil itu langsung berlari menghampiri seraya meminta digendong. Tentu saja ayah satu anak itu tak keberatan. Dia pun langsung memeluk dan menggendong putri tercintanya dengan penuh kasih.

"Papa kok kerjanya lama banget, sih? Aku kan kangen." Amira tampak cemberut saat berada di pelukan sang ayah.

"Iya sayang. Papa juga kangen. Kamu nggak nakal kan waktu Papa kerja?"

"Nggak, dong, Pa," jawab Amira sambil tersenyum memamerkan gigi depannya yang tanggal. Matanya beberapa kali mengerjap seolah tak percaya sang ayah sudah berada di hadapannya.

"Good girl. I am so proud of you, my dear." Niko mencium kening Amira lalu mengajaknya bergabung dengan mama dan oma-opanya di ruang makan. Keduanya berjalan beriringan dengan perasaan bahagia. Terlebih bagi Niko yang baru saja melewati saat-saat menegangkan ketika pesawat yang dinaikinya diserang cuaca buruk, mati mesin, dan akhirnya melakukan pendaratan darurat yang dramatis. Ia jadi semakin menghargai kebersamaan dengan orang-orang tercinta yang berada di sekelilingnya.

"Ayo, Mas, makan dulu! Amira juga, sini, Nak!" ajak Pelita sambil mengambil nasi dan lauk yang tersedia. "Malam ini Oma masak ayam goreng kesukaan kamu, lho!" lanjutnya sambil menatap sang putri.

"Terima kasih, Oma," ujar Amira sambil mengangguk sopan.

Sang Oma tampak tersenyum melihat kecerdasan dan sopan santun cucu pertamanya itu. "Sama-sama, sayang. Ya udah ayo dimakan, ya!"

"Eh iya, Niko, Lita, tahun ini Amira masuk TK kan?" tanya Oma Yani tiba-tiba.

"Iya, Ma, emang kenapa gitu?" jawab Pelita sambil menyiapkan sepiring nasi dan lauk pauk untuk sang suami.

"Nggak apa-apa, sih. Mama cuma berharap aja nanti cucuku disekolahkan di TK yang bagus. TK Internasional gitu, lho! Kaya cucu teman-teman Mama." Oma Yani tersenyum tipis sambil menatap Amira yang tengah menikmati paha ayam gorengnya.

Pelita terbelalak tak percaya. "TK Internasional?" "yang benar aja," lanjutnya dalam hati.

"Iya internasional. Bagus lho itu. Pasti beda, Nak, hasil didikan TK Internasional dengan TK biasa." Selama sepuluh menit berikutnya Oma Yani tampak berapi-api menjelaskan semua keunggulan dari TK Internasional yang diketahuinya.

Pelita yang hanya ibu rumah tangga tentu tak bisa langsung menjawab. Matanya menatap sang suami yang sejak tadi begitu fokus pada hidangan di depannya.

"Why?" tanya Niko sambil mendorong wajahnya mendekati Pelita yang menatapnya bingung. Pelita memberikan kode dengan menunjuk sang ibu dengan dagunya.

"Oh, iya, Ma, tenang aja insya allah nanti Amira masuk TK Internasional, kok," jawab Niko santai.

Mendengar itu Pelita tak mampu menutupi keterkejutannya. Ia menggenggam tangan sang suami erat-erat. "Kamu serius? TK internasional tuh mahal banget, lho, Mas!" protesnya.

"Yaa nggak apa-apa mahal. Buat anak kan kita harus memberikan yang terbaik sayang," jawab Niko sambil tersenyum dan mengusap mesra punggung tangan sang istri dengan tanpa beban.

"Tapi, kan .."

"Sst ... udah lanjutin makan dulu, deh!" Niko buru-buru memotong kalimat Pelita sebelum terlibat perdebatan yang tak berujung.

"Mama setuju tuh sama pemikiran suami kamu. Jangan takut ngeluarin uang untuk anak, Ta!"

Pelita yang juga sudah malas berdebat panjang lebar memilih diam dan melanjutkan makannya dengan tak semangat. Setelah selesai dia langsung buru-buru menghindari ibunya dan beralih ke ruang keluarga lalu menyalakan televisi.

"Mas, sini, deh!" Pelita memanggil Niko berkali-kali dan memintanya segera duduk di sofa untuk menonton berita yang sedang tayang.

Lelaki itu beranjak dari ruang makan dan melangkah pelan bersama Amira yang juga baru selesai makan. "Ada apa, sih? Heboh banget!" tanya Niko sambil mengusap-usap dagu.

"Itu, Mas, lihat, deh! Masa ada yang positif covid-19 di Depok. Berarti virus itu udah masuk Indonesia, dong? Aduh! Gimana nih, Mas?" Seperti biasa Pelita selalu cemas memikirkan masa depan. Jika ada berita yang tidak mengenakkan di televisi benaknya langsung memikirkan banyak hal dan berprasangka macam-macam. Wanita cantik itu begitu takut. Terlebih ini adalah soal pandemi yang sudah mewabah di berbagai negara.

"Seriously?" tanya Niko dengan nada suara yang terkesan datar. Dia yang awalnya duduk bersandar di sofa mendadak menegangkan punggung sambil memperhatikan tayangan berita dengan Amira yang duduk di pangkuannya.

"Serius, Mas! Itu lihat tuh menkes kita lagi konferensi pers," jawab Pelita sambil menunjuk layar televisi berukuran 32 inchi itu.

"Eh, iya, ya," gumam Niko yang diam-diam juga merasa khawatir karena pekerjaannya terkait dengan perjalanan jauh baik dalam maupun luar negeri yang bisa dengan mudah tertular virus itu.

"Nggak usah takut, Nak! Semuanya kan sudah diatur sama Tuhan. Kita bagian berdoa saja semoga Dia senantiasa melindungi keluarga kita." Arif, ayah Pelita yang sejak tadi diam tiba-tiba angkat suara untuk menenangkan hati sang putri.

"Iya, sih, Yah, tapi kan ngeri aja gitu ngebayanginnya kalau virus itu udah masuk ke Indonesia. Kalau yang aku lihat di luar negeri sih, virus itu nyebarnya cepat banget!" Pelita kembali merasa ketakutan dengan ancaman wabah itu.

"Yaa mudah-mudahan pemerintah bisa ngasih kebijakan yang tepatlah untuk mengatasi ini. Oh iya, kayaknya mulai sekarang kalian harus pakai masker, deh, kalau mau pergi ke mana-mana! Jangan sampai  tertular!" Arif mengingatkan dengan cukup keras.



BERSAMBUNG..

The New NormalWhere stories live. Discover now