Antara Realita dan Cita-Cita

73 2 3
                                    

Pelita menatap Niko yang baru daja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Aroma harum menyeruak memenuhi indra penciuman dan membuatnya seolah mabuk kepayang. Terlebih ketika sang suami tak sengaja memamerkan tubuhnya yang berotot nan seksi, Wanita itu seolah ingin waktu berhenti agar bisa menikmatinya lebih lama lagi.

"Biasa aja dong ngelihatinnya," ujar Niko sambil mengenakan kaus dan celana pendek berwarna hitam.

"Ups, abis suamiku ganteng banget, sih." Tanpa dikomando, Pelita langsung mendaratkan pelukannya dengan erat ke tubuh Niko.

"Jadi, sebenarnya kamu mau ngomongin apa, Mas?" tanya Pelita dengan jantung berdebar. Berbagai pikiran buruk menyergap dan rasa khawatirnya semakin menjadi-jadi. Ia takut Niko seperti suami sahabatnya yang tergoda dengan perempuan lain lalu meminta bicara serius empat mata untuk menikah lagi. Pelita bergidik ngeri membayangkan jika itu terjadi pada hidupnya.

Niko yang sudah berpakaian lengkap itu duduk di hadapan Pelita dengan posisi berlutut. Tangan kirinya membelai rambut dan tangan yang lain menyentuh kening, pipi, dan dagu sang istri. Pelita tampak kebingungan dengan sikap Niko yang tak biasa ini.

"Kamu kenapa?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

"Hmm, sayang, kalau aku nggak punya uang lagi gimana? Apa kamu masih mau jadi istriku?" tanya Niko seraya menatap lembut kedua mata Pelita yang semakin terheran-heran setelah mendengar pertanyaan itu.

"Kok kamu nanyanya gitu, sih? Emang ada apa?" Pelita berdiri lalu ikut duduk berlutut di hadapan Niko.

Niko menarik napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang baru saja dialami di kantor tadi. Sebuah kabar buruk yang tak pernah terpikirkan sebelumnya dan ia sama sekali belum siap untuk menerima keputusan itu. Biaya hidup semua anggota keluarga berada dalam tanggungannya. Selain itu gaya hidupnya sudah telanjur tinggi. Lelaki  yang biasa hidup dalam kemewahan itu tak yakin bisa mengubah gaya hidupnya dalam waktu singkat. Apa lagi, Amira sudah akan masuk sekolah dan dia sudah menjanjikan akan memasukkan putrinya itu ke sekolah internasional.

Setelah mendengar penuturan Niko dengan saksama, Pelita mendadak diam seribu bahasa dan suasana mendadak hening untuk beberapa saat. Pelita mengarahkan wajahnya ke arah luar jendela lalu menunduk dalam-dalam seolah butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja didengar.

"Maafin aku ya, sayang." Niko berjalan mendekat lalu menunduk seraya menggenggam erat tangan Pelita.

Pelita menelan ludah dan berusaha menata hati atas kabar mengejutkan ini. Sebisa mungkin kedua ujung bibirnya tetap melengkung ke atas agar sang suami juga tetap tenang dan tidak overthinking.

"Ya sudah, Mas. Nggak apa-apa. Mungkin memang sudah jalanNya begini. Sabar, ya! Kita pasti bisa melewatinya bersama-sama," ujar Pelita sambil menyambut tangan sang suami lalu mengecupnya lama.

"Lalu bagaimana hidup kita ke depannya, ya? Kalau pun nanti dapat uang pesangon, rasanya nggak akan cukup untuk kita bertahan hidup. Apalgi sebentar lagi Amira mau masuk sekolah, pasti butuh banyak uang." Niko tampak frustrasi. Wajahnya mendadak pucat ketika mengatakan kalimat itu.

"Ah sudahlah, Mas. Nggak usah dipikirkan. Nanti pasti ada jalan, kok. Tenang aja. Rejeki kan sudah diatur tinggal kita mau berusaha atau nggak," ucap Pelita dengan suara bergetar. Tak seperti biasanya kali ini Pelita tampak begitu tenang. Atau pura-pura tenang? Entahlah. Sebab sebagai manusia biasa, pastilah tebersit kekhawatiran-kekhawatiran itu, tetapi sebagai seorang istri dia tak mau menambah beban suami dengan kepanikan yang ia rasakan.

Wanita itu mencoba menegarkan diri dan menyemangati Niko dengan senyumannya. Alih-alih larut dalam kesedihan, Pelita malah menghibur sang suami dengan pelukan erat sebagai wujud cinta yang tak bertepi pada sang suami.

Tak sampai lima menit setelah mereka berpelukan, tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang membuat keduanya terlonjak kaget.

"Lita, kamu ada di dalam?" teriak seseorang dari luar kamar. Pelita dan Niko hafal benar itu adalah suara Oma Yani. Niko buru-buru memberi kode untuk tidak mau menemui sang mertua karena kondisi hatinya sedang tak enak.

"Iya, Ma. Sebentar." Pelita bergegas membukakan pintu dan menyalami sang ibunda.

"Mama sama siapa ke sini? Tumben!" ujar Pelita sambil mengajak mamanya duduk di sofa yang terletak di ruang keluarga. Pelita agak heran karena mamanya tiba-tiba datang tanpa memberi kabar sebelumnya.

"Ini, lho, Ta, brosur TK internasional tempat cucu temen Mama yang Mama ceritain tempo hari. Lihat, deh fasilitas-fasilitasnya lengkap dan keren banget, kan?" kata Oma Yani dengan mata berbinar.

Pelita tergeragap tak tahu mau menjawab apa di tengah kondisi yang  sangat tidak memungkinkan menyekolahkan anaknya di sana. Ia hanya mengambil brosur itu lalu membolak-balik halamannya sambil berpikir keras apa yang akan dia katakan pada ibunya yang sangat ambisius itu.

"Gimana, Ta, Amira jadi kan sekolah di sana? Pokoknya Mama jamin Amira akan punya masa depan cerah terus Mama juga pasti bangga banget dong punya cucu yang sekolah di sekolah internasional. Jangan mau kalah sama temen Mama, Ta!" cerocosnya lagi tanpa henti.

Pelita masih bergeming. Dia berharap Niko segera keluar dari kamar dan menyampaikan sendiri apa yang sedang terjadi karena Pelita merasa tak kuasa mematahkan semangat ibunya sendiri. Namun, tentu saja itu mustahil karena suaminya sudah memutuskan untuk "menutup pintu."

Oma Yani yang sejak tadi merasa bicara sendiri akhirnya kesal dan menepuk pundak putrinya. "Eh kok malah diem aja? Gimana sih kamu!"

"Eh, hmm iya, Ma, maaf aku lagi nggak fokus. Terima kasih ya, Ma infonya. Nanti aku omongin lagi ke Mas Niko. Dia juga baru pulang sih. Mungkin sekarang masih capek."

"Oh ya udah, cucu Mama mana?"

"Ada di kamar, Ma, kayaknya masih tidur."

"Aduh udah sore gini kok masih tidur, sih! Nggak bagus tahu tidur sore-sore. Mama ke Amira dulu, ya! Nih brosurnya jangan sampai ilang," ucapnya dengan mata melotot.
"Oh iya, Mama udah bilang sama temen-temen kalau Amira mau sekolah di sana, lho! Jangan bikin malu ya, Ta!" bisiknya kemudian.

Pelita semakin dilema. Di satu sisi ingin menuruti ibunya, tetapi di sisi lain kondisi keuangan setelah suaminya dirumahkan pasti tak memungkinkan untuk menyekolahkan Amira di sekolah internasional yang biayanya begitu tinggi menjulang.

Di hadapan sang ibu, Pelita hanya bisa mengangguk sambil menyunggingkan senyum terpaksa yang sangat dibuat-buat.

Setelah ibunya pergi, Pelita bergegas kembali ke kamar dengan langkah gontai. Berkali-kali ia harus menarik napas panjang dan membuangnya perlahan untuk mengendalikan rasa sesak di hati yang begitu terasa saat ini.

BERSAMBUNG..

Alhamdulillah bisa update lagi di tengah rasa sakit yang mendera. Sekali lagi mohon maaf bila ada kekurangan, ya!
💓💓
-DIA

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 25, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The New NormalWhere stories live. Discover now