bagian; 2

249 40 28
                                    

Begitu ponsel dimatikan, Nina nggak lagi menunggu lama buat bersiap menemani pacar kesayangannya itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Begitu ponsel dimatikan, Nina nggak lagi menunggu lama buat bersiap menemani pacar kesayangannya itu.

Nina udah pernah bilang, kan, kalau ini bukan pertama kalinya Barga out of nowhere mengajak perempuan itu jalan di paruh waktu yang nyaris menyentuh tengah malam begini? Tapi, kalau boleh jujur lagi, ini pertama kalinya Nina mengiyakan ajakan yang selalu mendadak dari pacarnya itu.

Nggak, bukan karena sebelumnya Nina nggak mau bersukarela menemani Barga.

Di kali pertama Barga mengajak Nina keluar, perempuan itu mengira kalau si mas pacar cuma bercanda. Di kali kedua Barga mengajak, Nina masih ragu-ragu untuk diajak seorang pemuda keluar di waktu yang bukan lagi waktu bagian manusia-manusia lokal Indonesia berkeliaran di luar. Di kali ketiga, Nina udah lelap lebih dulu sampai akhirnya ajakan Barga di kolom chat nggak terbaca sampai pagi.

Ini kali keempat, dan Nina nggak mau lagi menolak ajakan Barga. Toh, Barga anak baik. Perempuan itu berani menjamin seratus persen ke dirinya sendiri kalau dia akan selamat sentosa dari kos sampai kembali lagi ke kos kalau sama Barga.

Lain dari hal itu, Nina paham betul kalau Barga nggak mungkin meminta waktu si perempuan -sampai dibawa keluar begitu, kalau dia nggak lagi luar biasa tertekan.

Si mas pacar bukan tipikal orang yang mudah terbuka, kalau kalian mau tau. Dengan orang terdekatnya sekalipun.

Alhasil, nyaris tiap malam, pacarnya itu suka sekali mengalihkan waktu tidur jadi bagian overthinking. Semua dipikirkan, semua dirasakan. Untuk yang nggak perlu sekalipun.

Heran. Suka betul menambah beban diri.

Ya, bisa dibilang Nina cukup beruntung bisa jadi orang yang dipilih pemuda itu untuk dijadikan tempat berkeluh-kesah. Seenggaknya, walau nggak terlalu becus memberi wejangan, eksistensi Nina di sekitar Barga udah cukup untuk jadi obat bagi pemuda itu.

Makanya, Barga kelihatan senang betul di chat -sampai mengirim emotikon lope-lope yang luar biasa banyaknya itu.

Nina menunggu di depan kos. Agak was-was juga dengan rumah ibu kos yang berdiri kokoh di samping gerbang kosnya.

Iya, sebenarnya peraturan 'nggak boleh keluar lewat jam sepuluh malam' itu berlaku di kos Nina. Dan iya, Nina lagi berusaha melanggar aturan yang satu itu sekarang.

Kan demi mas pacar, demi Barga, apa salahnya?

Nina duduk diam di salah satu bangku panjang yang tersedia tepat di depan gerbang kos. Telapak tangannya beberapa kali mengusap satu sama lain, saling memberi kehangatan dari tangan yang kiri ke tangan yang kanan.

Kendati ini Indonesia, negara tropis dengan cuaca dan udara yang nyaris tiap hari nggak lepas dari yang namanya panas, dinginnya angin malam tetap nggak bisa dianggap main-main.

Nina nggak membuat keputusan yang salah untuk mengenakan jaket hitam tebal tadi.

Lima belas menit mengusap tangan, presensi seorang Barga Aditya udah tiba di depannya, mengagetkan Nina dengan eksistensinya yang ujug-ujug muncul di depan perempuan itu. Biasanya, sebelum Barga sampai, suara motornya udah lebih dulu menyapa telinga Nina.

Perempuan itu jadi lebih kaget lagi begitu melihat kalau si mas pacar datang dengan sepeda onthel, lantas kasih senyum manis ke mbak pacar.

Nina nggak punya alasan untuk nggak balas tersenyum, sebelum akhirnya berkata, "Sepeda onthel banget?"

Barga mengernyit kemudian. "Loh? Kenapa? Kamu nggak nyaman naik sepeda?"

"Bukan," balas Nina. "Emang kamu sanggup goes sepeda sambil bawa aku? Aku berat, loh, Ga."

"Dih? Berat apanya? Tiga kali seminggu makan mi instan, berat darimananya?"

"Mi instan juga makanan, kalo kamu mau tau."

"Tapi nggak ada gizinya," tukas Barga cepat. Pemuda itu menepuk jok bagian penumpang sambil berkata, "Naik cepat! Nanti keburu malam banget."

Nina nggak lekas-lekas menuruti kata si mas pacar, alih-alih menatap ragu ke pemuda itu.

Nina bukannya lagi insecure atau gimana, tapi dia nggak bohong kalau berat badannya itu nyaris menyentuh angka 50, sedangkan berat si mas pacar juga nggak bisa dibilang besar. Kalau-kalau di tengah jalan tenaga Barga habis, kan bisa gawat. Nina jujur kalau dia nggak akan sanggup menggoes sepeda dengan Barga di kursi penumpang.

"Ga, serius, sanggup nggak?"

"Ya ampun. Sanggup, Nina," kata Barga lagi. "Naik!"

Maka, nggak ada lagi alasan untuk Nina menolak. Toh, Barga mengaku mampu. Perempuan itu harus percaya dengan Barga. Menurut kata orang-orang, segala sesuatu yang di dunia itu terjadi dari apa yang kita percaya.

Barga mulai menggoes begitu memastikan Nina udah duduk dengan nyaman sekaligus aman di belakangnya -pemuda itu bahkan memastikan si perempuan mendaratkan pegangan di pinggangnya. Sempat beberapa kali oleng, sebelum akhirnya dia berhasil menyesuaikan diri dan sepeda melaju lurus di sepanjang jalan.

"Mau kemana, Ga?"

"Keliling-keliling aja," jawab si pemuda. "Sekalian nyari bakpao. Lagi ngidam."

Nina mengangguk kecil sebelum mengeratkan pegangan di pinggang Barga karena jalanan yang nggak mulus. Dalam hati benar-benar bersiap untuk jadi teman curhat sekaligus objek peluk si pacar setelah ini.

Karena, well, sekedar informasi, bakpao dan kegalauan tingkat akhirnya Barga adalah dua hal yang nggak bisa dipisahkan.

[]

[]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
jalan malam✔Where stories live. Discover now