Hinata terbangun dengan teriakan yang tercekik di tenggorokannya. Lampu kamar masih menyala, tetapi kertas-kertas di meja beterbangan seolah ada angin yang masuk. Jendela terbuka sedikit, padahal ia yakin sudah menutupnya.
Di kaca jendela, samar, ada bekas telapak tangan basah.
Malam itu, Hinata tak bisa kembali tidur. Ia duduk di pojok kamar, memeluk lutut, menatap jendela dengan mata terbuka lebar. Ada ketakutan, jelas. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang aneh: rasa penasaran, rasa yang menyerupai kerinduan yang tak pernah ia mengerti.
Seperti bagian dari dirinya memang sudah lama menunggu ketukan itu datang.
☠️💀☠️
Malam itu, ketika jam berdetak melewati pukul dua belas, Hinata akhirnya menyerah pada kantuk. Meski ketakutan masih bersemayam di dadanya, tubuhnya tak lagi kuat menahan letih. Ia berbaring, namun tidak dalam tidur yang damai. Begitu kelopak matanya menutup, ia terseret lagi ke dunia yang sama-dunia abu, istana retak, langit merah menyala.
Namun kali ini tidak ada jarak. Tidak ada kabut. Tidak ada keraguan. Sosok itu berdiri hanya beberapa langkah di hadapannya.
Hinata menelan ludah, jantungnya berdetak keras. "Kau..." suaranya parau.
Sosok itu tersenyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya hangat, tapi juga tidak sepenuhnya mengancam. "Aku." Suaranya dalam, bergema, seakan keluar dari ribuan mulut sekaligus, namun tetap indah seperti lantunan doa.
"Aku Uchiha Sasuke. Raja dari tanah yang dilupakan."
Hinata ingin mundur, tapi tanah di bawah kakinya seperti menahan. Ingin menoleh, tapi pandangannya terikat pada mata merah itu. "Kenapa kau selalu muncul di mimpiku?"
"Mimpi hanyalah pintu kecil," jawab Sasuke. "Dan cintaku terlalu besar untuk tetap tinggal di balik gerbang. Aku mencari celah, Hinata. Mencari jalan untuk menjangkaumu."
Kata cinta dari bibir makhluk itu terdengar asing. Terlalu berat, terlalu kelam. Seakan cinta baginya bukanlah bunga, melainkan rantai.
Hinata mengerutkan alis. "Kau iblis."
"Aku raja di dunia yang kau sebut kegelapan," Sasuke melangkah maju. Bayangannya meluas, merayap di tanah, menyentuh ujung kaki Hinata. "Tapi iblis hanyalah nama yang manusia sematkan pada sesuatu yang mereka takutkan. Bagiku, aku hanyalah makhluk yang mencintai terlalu dalam, mencintai terlalu lama."
"Mencintai siapa?"
Senyum Sasuke melunak, nyaris manusiawi. "Kau."
Hinata tercekat. Dunia di sekitarnya seperti meredup, hanya menyisakan dua sosok: dirinya dan Sasuke.
"Kenapa aku?" suaranya hampir berbisik.
Sasuke mendekat, langkahnya ringan, namun udara bergetar tiap kali ia berpindah. "Karena kau cahaya di antara kehancuran. Berabad-abad aku hidup, Hinata. Beribu jiwa mencoba menaklukkan kegelapan ini, tapi semuanya hanya percikan yang cepat padam. Lalu aku melihatmu-manusia kecil yang polos, yang berani menatap gelap tanpa gentar. Dan aku tahu... hanya kaulah yang bisa membuat malam ini berarti."
Hinata menggigil, bukan karena dingin, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam: ketakutan bercampur kerinduan. Ia merasa seolah sudah lama mengenal tatapan itu, seperti ada benang tak kasat mata yang sejak lahir menghubungkan mereka.
Namun nalarnya melawan. "Cinta bukan seperti ini. Cinta bukan ketukan di jendela, bukan bayangan yang mengintai. Itu teror, Sasuke."
Raja iblis itu menatapnya lama, kemudian tertawa pelan. Tawanya berat, namun ada kesedihan di dalamnya. "Manusia selalu takut pada apa yang tidak mereka mengerti. Tapi dengarlah, Hinata. Bagiku, cinta memang teror. Teror adalah bukti bahwa kau tak bisa melawan, tak bisa lari, tak bisa melupakan. Teror adalah bentuk paling murni dari keterikatan."
YOU ARE READING
C • E • R • P • E • N
Short StoryCerpen adalah sebidang kaca kecil tempat kehidupan memantul. Ia lahir dari kata-kata yang singkat, tetapi menyimpan samudra rasa. Di dalamnya, dunia tak perlu berlarat-larat untuk menjelma; cukup beberapa halaman, sudah mampu mengguncang hati dan pi...
☠️ T E R O R ☠️
Start from the beginning
