☠️ T E R O R ☠️

En başından başla
                                        

Seperti bayangan yang tak pernah meninggalkannya.

Malam itu, hujan baru saja reda. Bau tanah basah merambat masuk lewat jendela kamar kosnya yang kecil. Hinata duduk di meja belajar, menatap kertas catatan yang seharusnya ia isi dengan persiapan ujian. Namun matanya terus beralih pada jendela. Hatinya resah, tanpa alasan.

Jam menunjukkan pukul sebelas lewat lima menit. Suara kendaraan sudah jarang terdengar, menyisakan keheningan yang seakan lebih padat dari udara itu sendiri. Tirai tipis di jendela bergerak pelan tertiup angin.

Lalu ia mendengarnya.

Ketukan. Halus, nyaris tak terdengar, seperti kuku yang mengetuk kaca.

Hinata mendongak. Ruangannya hanya diterangi lampu meja, sementara di luar jendela gelap menelan segala sesuatu. Ia mendekat, menyingkap tirai perlahan. Tak ada siapa-siapa. Hanya halaman kecil yang becek, genangan air berkilau tipis memantulkan sisa cahaya lampu jalan.

Namun saat ia hendak menutup tirai kembali, matanya menangkap sesuatu.

Samar-tangan pucat menempel di kaca, hanya sekejap, lalu hilang.

Hinata terhuyung mundur, jantungnya berdetak kencang. Ia menutup mulutnya rapat agar tidak berteriak. Rasionalitasnya mencoba berteriak: itu hanya bayangan, hanya pantulan, hanya ilusi mata lelah.

Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu bukan.

---

Malam-malam berikutnya, ketukan itu datang lagi. Kadang di jendela, kadang di pintu, bahkan pernah terdengar dari arah lemari. Tidak keras, tidak memaksa-justru ritmis, teratur, seperti irama napas seseorang yang sabar menunggu.

Dan selalu, setelah ketukan itu, Hinata bermimpi.

Ia berdiri di padang luas yang dipenuhi abu. Langit di atasnya merah gelap, seakan terbakar. Di kejauhan, istana raksasa menjulang, namun separuhnya runtuh, dinding-dindingnya retak, menara-menara patah seperti gigi tua. Dan di tengah kehancuran itu, selalu ada sepasang mata yang menatapnya-mata merah menyala, penuh gairah sekaligus kesedihan.

Tidak ada suara, tidak ada kata-kata. Hanya tatapan itu, seolah berusaha menembus jantungnya.

Ketika ia terbangun, jantungnya masih berdegup keras, dan di udara kamar yang sunyi ada aroma samar, bukan bau hujan, bukan pula debu. Sesuatu yang asing: perpaduan besi, bunga, dan asap.

Pada malam keempat, mimpi itu berubah.

Ia tidak lagi berdiri jauh dari istana, melainkan tepat di gerbangnya yang tinggi. Batu-batu hitam yang menjulang seakan berdenyut hidup. Pintu raksasa terbuka dengan sendirinya, mengundangnya masuk.

Dan di sana ia melihatnya.

Sosok itu berdiri di tengah aula megah yang retak, bertelanjang dada dengan tubuh yang diselimuti asap hitam. Rambutnya jatuh seperti arus malam, wajahnya pucat namun indah, seindah tragedi yang tak bisa dijauhkan dari mata.

Hinata menahan napas. Ia ingin berlari, tapi tubuhnya menolak. Ingin menjerit, tapi suaranya terkunci.

Sosok itu mengangkat wajahnya, mata merahnya berkilat dalam kegelapan. Dan untuk pertama kalinya, ia mendengar suara itu, bukan dari luar, melainkan langsung di dalam dirinya:

"Aku sudah lama menunggumu."

"

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.
C • E • R • P • E • NHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin