12

5.2K 350 3
                                    

Neraka kedua bagi Hana.


Seperti terhantam benda dengan berat ribuan ton. Terpelanting kemudian remuk. Sakit. Tersiksa. Bernapas pun seperti ada yang menyubat rongga paru. Teramat sesak.


Seperti dirinya adalah benda rapuh. Jatuh. Hancur. Berkeping-keping.


Mata berembun. Menahan laju tetesannya.


Hana linglung. Teramat, hingga tak tahu apa yang harus ia lakukan. Hanya bisa terdiam, tak mampu berucap. Lidahnya keluh tak bertenaga.


"Maafkan aku. Segalanya tak bisa di ditebak begitu saja. Jujur aku pun sangat terkejut dengan hasilnya."


"Berikan aku solusinya. Aku mohon!" Mungkin jika harus mati, Hana pun akan melakukan segalanya. Hana siap melompat dari gedung pencakar langit. Terjun ke dasar sungai yang begitu dalam pun akan ia lokoni. "Aku rela melakukan apapun! Aku rela mati sekalipun."


"Kau mungkin rela melakukan segalanya. Sayangnya dengan kau mati, itu bukan solusinya."


"Lalu aku harus bagaimana?"


Senyum manis itu terbit di wajah dokter Kim. Manis yang mempesona. Seperti sebuah senyum yang mampu menyelamatkan dunia. Berbeda dengan Hana yang tampaknya tak mampu untuk tersenyum lagi. Dunianya kembali hancur. Ini adalah kehancuran kali kedua setelah kejadian pemerkosaan yang ia alami.


Sebuah amplop putih berlogo rumah sakit. Dokter Kim menyodorkan amplop itu pada Hana. "Aku rasa kau akan lebih penasaran dengan isi amplop yang satu ini."


Menggapai dengan hati-hati. Membuka dengan perlahan. Membaca isinya dengan pelan. Penuh ketelitian.


Hati yang semulanya seperti gurun pasir yang gersang. Seperti terkena guyuran hujan yang menyejukkan. Ada sedikit harapan dari sana. Hanya saja apakah Hana mampu untuk mengungkap kenyataan itu? Selain belum siap kehilangan, tak bisa pula bagi Hana untuk menyakiti hati sang dokter yang tengah duduk berhadapan dengannya.


"Temui dia! Ceritakan segalanya! Itu adalah solusi terbaik."


"Apa tidak masalah aku menemuinya? Ia orang asing."


"Aku tak mempermasalahkan itu. Aku lakukan ini karena aku terlampau sayang pada gadis kecilku. Lakukanlah apapun yang terbaik untuk Heejinku."


***

Hampir seluruh isi rumah teracak oleh Jimin. Benda berharga miliknya tak ada dimanapun. Entah hilang atau Jimin lupa tempat menaruh. Yang pasti benda itu tak ada.


Diam sejenak agar bisa berpikir jernih.


Jimin ingat terakhir kali ia membawa Revolvernya. Tapi ia lupa dimana meninggalkannya. Atau jangan-jangan tinggal di rumah Hana?


Membayangkan kemungkinan Revolvernya tertinggal di rumah Hana saja hatinya sudah berbunga-bunga.


Membayangkan ia akan bertemu wanita yang membuatnya gila, juga gadis kecil yang membuatnya lupa segala masalah.


Ini sudah malam. Dingin menusuk tulang. Jimin menyusuri gang yang kecil dan sepi. Kembali ke rumah dimana ia sempat bermalam.


Bisa Jimin lihat dengan jelas Park Hana tengah berbincang dengan seseorang pria yang tampan luar biasa. Jauh lebih tinggi darinya. Tak lupa jas putih yang menempel sempurna di tubuh yang atletis. Dari jas yang digunakan itu bisa ditebak apa pekerjaannya.


Tak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan. Sakit dan tidak suka. Kemungkinan itu adalah sebuah wujud dari kecemburuan.


Sedikit bersembunyi. Mencoba mencuri dengar apa yang keduanya bicarakan. Sayangnya terlalu pelan. Jimin tak mampu mendengar segalanya. Yang ia bisa dengar hanya pria itu mengatakan selamat malam dan selamat beristirahat, dengan tangan yang menggenggam Hana dan sebuah kecupan pada dahi Hana. Hati jimin menggelegak melihatnya. Ada apa ini?


Tak terasa Jimin mengepal tangannya. Seperti ada kemarahan di sana. Matanya birkilat, berisyaratkan sebuah emosi. Menatap tak suka dengan apa yang dilihat.


Padahal tidak begitu dekat. Tidak begitu lama juga saling mengenal. Datang hanya memberi ancaman, kemudian menyewa, dan terakhir adalah dirinya yang ditolong.


Berdiri mematung dari kejauhan. Mata elang memandang seolah bersiap menyergap mangsa. Sangat mematikan. Wajah tampan seperti ingin menghancurkan dunia, bertemankan emosi dalam jiwa.


Tidakkah begitu cepat? Begitu tak masuk akal juga, jika dirinya menjadikan sosok dokter itu sebagai musuh yang masuk dalam deretan daftar calon yang harus ia habisi. Jimin rasanya ingin menjadi jahat hanya karena kecemburuannya. Ini sangatlah tidak benar. Jika terus begitu, maka kapan ia bisa menjadi baik?




LOVE

Author: Ameera Limz

LIKE HEROIN [TAMAT - AKAN SEGERA CETAK]Where stories live. Discover now