chapter 15. (end)

Start from the beginning
                                        

" Paman? "

" Jeno... "

" Bagaimana keadaan adik ku? " Tanya jeno

" Mari ikut saya, saya akan menjelaskannya di ruangan saya " Ucapnya dan jeno pun membuntutinya debelakang, dengan rasa cemas, takut, bersatu di dalam dirinya.

Jeno menatap dokter lee di hadapannya, keduanya duduk saling berhadapan dengan meja yang menjadi batasan diantara keduanya.

" Kanker paru-paru setadium akhir " Ucapnya setelah beberapa lama terdiam

" Saya tidak tahu sejak kapan anak itu memiliki penyakit itu, tapi dari hasil pemeriksaan menunjukan jika penyakitnya ini kemungkinan faktor keturunan "

" Anak itu datang kerumah sakit beberapa bulan yang lalu, saya yang memeriksanya saat itu, dan penyakitnya itu terdeteksi sudah di tahap setadium 3A "

" Saya pun sempat memintanya untuk melakukan berbagai tahap pengobatan, tapi sayang dia tidak mau "

" Bahkan kedatangannya ke rumah sakit masih dapat dihitung oleh kelima jari ini " Ucapnya lagi seraya menghitung kelima jari miliknya didepan jeno

Dokter lee menghela napas sejenak sebelum ia kambali berbicara.

" Kanker paru telah menyerang kelenjar getah bening dan menyebar ke kedua paru, leher, jantung, pembuluh darah besar, atau kerongkongan, sehingga tidak dapat diangkat melalui operasi, Sekarang sel kankernya telah menyebar kebagian tubuh lainnya "

" Sulit untuk disembuhkan, bila telat sedikit saja nyawanya tak bisa diselamatkan, untuk saat ini kita tidak bisa berbuat banyak kita harus memantau kondisinya "

Jeno yang mendengarkan semua penjelasan dokter itu lantas mengacak rambutnya frustasi, entah apa yang ia harus lakukan sekarang, bahkan dokter sendiri pun tidak tahu harus melakukan apa.

" Tolong lakukan apapun agar dia sembuh " Mohon jeno

" Harapan hidupnya pun hanya sekitar sepuluh persen jeno, saya meminta maaf bila saya tak bisa melakukan yang terbaik untuknya, berdoalah pada tuhan... Semoga tuhan memberikan jalan yang terbaik untuknya " Ucapnya

" Terimakasih, atas penjelasannya saya pamit " Pamit jeno seraya beranjak dari duduknya, dokter itu juga ikut beranjak lalu menghampiri jeno dan memeluk tubuh tegap jeno

Jeno terisak dalam dekapan ayah dari sahabatnya itu.

***

Jeno menatap adik tirinya itu sendu, hatinya bak di hantam batu besar hingga dadanya terasa amat sangat sesak, melihat betapa banyaknya alat bantu medis yang menempel di tubuh jaemin

Bahkan untuk bernafas pun ia menggunakan ventilator.

Jeno duduk di kursi sebelah ranjang jaemin,digenggamnya satu tangan jaemin yang tak ada infusnya.

" Kau berbohong... Dulu Kau berjanji tak akan menyembunyikan rahasia apapun padaku, dan sekarang kau menyembunyikan rahasia tentang penyakit mu "

" Aku tidak mau kamu pergi lagi, bukankah sekarang jika kamu pergi, kamu tak akan kembali? " Jeno mengelus rambut jaemin, ditataplah muka manis dan tampannya walaupun terhalang oleh alat medis yang menempel pada mulut.

" Senyummu... Apakah aku akan kembali melihatnya ? " Lirihnya

" Ah ya.... Ayo tersenyum, aku... Aku memenangkan olimpiade itu, ayo tanjukan senyum banggamu itu padaku! " Jeno terkekeh pelan dan selanjutnya ia menangis tersedu sedu

" Haha... Bukankah ini gila?! Aku bahkan melanjutkan permainan sampai selesai tak kala kamu lebih dulu beranjak dari kursi penonton, Dikala penyakit kamu kambuh dan kamu merasakan sakit yang meronta-ronta, aku tak ada di sisimu "

introvert •jeno & jaemin Where stories live. Discover now