Bab 2: Petualang Dari Kota

15 0 0
                                    

Seorang dengan perawakan tinggi putih, matanya berwarna biru, hidung mancung dan rambut sedikit kecoklatan. Di punggungnya tas gunung besar dalam gendongannya. Rambutnya tertutup oleh bandana berkelir abstrak, di kupingnya anting yang menggantung. Wajahnya kebuleannya tampak dari kulitnya yang putih kemerahan. Jambang dan jenggotnya lumayan lebat menghias mukanya.

Ia tengah melangkah menuju stasiun Gambir menuju kereta yang akan menuju Yogyakarta. Jenuh dengan suasana kota perlu suasana baru yang bisa membuatkan kembali bersemangat. Selama ini jenuh bekerja di sebuah perusahaan desain. Sepanjang hari berangkat jam 7 dan pulang larut malam. Ketika ada pekerjaan lemburan bisa sampai jam 12 malam. Kadang ia melanjutkan dengan nongkrong di kafe yang buka sampai menjelang pagi.

Jam tidurnya sangat sedikit kurang lebih hanya 3 jam setiap harinya. Saat akhir pekan ia sempatkan tidur seharian, namun kadang ada saja proyek lembur yang membuat liburnya terasa sedikit. Ia perlu suasana baru, agar tidak menjadi gila. Apalagi bila mengingat persaingan antar pekerja seperti dirinya agar bisa secepatnya melesat karirnya, menduduki jabatan manager ataupun grand manager.

Persaingan sungguh tidak sehat, mesti saling jegal, saling menggunakan trik jahat untuk menjatuhkan kredibilitas sesama teman. Andrew Panji Respati namanya. Biasa dipanggil Anji oleh teman – temannya. Ia memang tengah dipromosikan menjadi manager.

Selama ini desain dan proyek yang ia tangani cukup sukses membuat bosnya tertarik mengangkatnya menjadi manager, tapi tentu saja perjuangan itu tidak mudah, karena ia mesti melewati saat di mana teman dekatnya menelikung dan menghilangkan file desain yang ia rancangnya.

Untungnya ia mempunyai copy file di rumah, dan selalu disimpan di drive atau di hard disk yang selalu dibawanya. Kadang sabotase, pencurian ide sering muncul di kantor itu membuat persaingan kurang sehat.

Sebelum ia menyanggupi untuk menduduki manager kreatif, ia minta pada bosnya untuk cuti sekitar dua minggu. Selama beberapa tahun ini ia jarang mengambil cuti jadi ia bisa menggunakan hak cuti cukup panjang itu untuk berlibur di luar kota. Jauh- jauh dari aroma persaingan kerja yang memuakkan dan membosankan.

Kereta eksekutif jurusan Yogya sudah tiba. Dari peron 5 ia masuk mencari tempat duduk seperti yang sudah tertera di tiket kereta. Setelah ketemu ia segera mengambil posisi yang nyaman, memasang headphone, memilih musik dari ipodnya dan kemudian rebahan. Ia tertidur sampai jam menunjukkan pukul 12 Malam.

Ia merasakan perut melilit dan kemudian bangkit dari kursi yang kebetulan hanya dirinya yang duduk... sebelahnya kosong tidak berpenghuni. Ia menuju restorasi memesan kopi, dan nasi goreng. Dari tempat duduknya ia melihat seorang wanita berdandan sedikit terbuka di bagian dadanya. Mata Anji tertunduk. Ia tidak ingin melihat pemandangan cukup seronok di depan matanya, meskipun rasa penasaran dalam hatinya meronta – ronta tapi ia tidak tertarik dengan perempuan yang berdandan terlalu berani.

Tiba – tiba saja wanita itu beranjak mendekat, bau wangi parfum menyeruak dan menembus hidungnya, begitu juga kibasan rambutnya membuat ia terbatuk.

"Boleh diduduk di sebelah kursimu."

"Silahkan."

"Sepertinya pernah kenal tapi entah di mana?"Perempuan itu mencoba membuka obrolan, sementara Anji masih asyik mendengarkan musik dari Ipodnya.

"Apa..., maaf aku tidak dengar.."

"itu...kabel dalam kupingmu itu yang menghalangi pendengaranmu..."

"Ufff.... Maaf, sudah kebiasaan kalau lagi kerja."

"Kamu dengar musik apa..."

"Bisa musik klasik, karya – karya dari Sebastian Bach, kadang dari mozard, tapi seringkali lebih suka mendengarkan Jazznya dave Kozz..."

"Aku tidak mengerti, yang kumengerti sih dangdut koplo. Lebih tahu tentang Ninik Karlina atau artis Nella Kharisma.."

"Siapa dia...:

"Ah, kamu benar- benar tidak tahu siapa Nella Kharisma."

"Maaf, kurang kenal, kalau Didi Kempot sedikit- sedikit tahu, malah aku lebih kenal Sundari Sukoco."

"kau suka lagu keroncong? Perempuan itu tampak melongo?"

"Suka memangnya kenapa?"

"Kenapa bukan Dangdut koplo...?"

"Aku tidak mengerti di mana asyiknya lagu itu?"

"Kamu pernah pergi ke klub malam, kafe dangdut ?"

"Kalau Kafe sering, kalau klub malam jarang sih, sesekali diskotik itupun hanya sebentar, aku tidak suka musiknya yang terlalu keras. Berisik."

'Enak. Bisa menari dan jogged sepuasnya."

"Ya kebetulan aku tidak suka menari, apalagi gerak gerak tidak jelas begitu..."

"Kau pasti terlalu suntuk bekerja jadi kurang gaul. Lupakan pekerjaan cari hiburan... apalagi di temani ehm."

"Maaf aku tidak ngerti apa yang dimaksud ?"

"Duh, kamu terlalu polos. Mosok orang kota tidak tahu ehm – ehem, Ia melirik sambil menunjukkan belahan dadanya."

"Oh, Mbak memancing saya..."

Enggak. Tapi laki – laki normal pasti tertarik dengan ini. Lagi – lagi mata genitnya mengarahkan mata Anji untuk melihat tubuhnya yang lumayan terbuka."Maaf kalau bicara mengarah saya mau pamit balik lagi ke gerbong saya."

"Oke, saya tidak akan memancingmu lagi... maaf, ngomong- ngomong kamu pesan apa?"

'Aku sudah pesan American Coffee dan nasi goreng..."

"Sebetulnya aku pengin merokok tapi ini ruangan ber AC.. dilarang merokok ditempat ini." Nanti saja kalau ada istirahat sebentar di Stasiun besar di daerah Purwokerto. Bisa keluar sejenak."

"Kok tahu, kamu sudah sering naik kereta ini ya... "

"Dulu waktu masih kuliah di Yogya sering naik kereta ini."

"Yah begitulah, Mamaku artis blasteran."

"Siapa?boleh dong tahu namanya."

"Maaf saya keberatan, saya tidak suka dihubung- hubungkan dengan dunia selebritas. Malas."

"Yaaaaah... padahal aku suka berita gosip."

Waktu menunjukkan pukul 1 lewat 30 pagi...Cukup lama ngobrol dengan perempuan yang umurnya kurang lebih 30 tahunan. Mukanya bersih, sedikit polesan di bibir, mata kegenitan dan rasanya tertarik dengan sosok brondong seperti dirinya.

American kopi cukup membantunya menyegarkan tubuhnya yang tertidur semenjak duduk di kursi kereta yang cukup nyaman . Kakinya Anji yang panjang bisa selonjor dengan leluasa. Ia melihat di balik jendela suasana masih gelap. Tapi tidak seberapa lagi kereta akan segera tiba di tujuan yaitu Yogyakarta. Ia sempat merokok sejenak tadi di stasiun Purwokerto menemani mbak genit yang mengaku bernama Jeng Dewi.

Yogyakarta sebentar lagi menyambutnya. Suasana yang dirindukan dirinya dan sebagian orang yang pernah tinggal, bersekolah dan menjelajah kota seribu pesona dan seribu kenangan tersebut. Namun di Yogya ia hanya singgah sebentar, sebab ia akan langsung menuju desa Bojong. Desa yang cukup jauh dari Yogyakarta Kota. Kebetulan ia mempunyai kerabat di sana.

Di desa Bojong ia sudah merencanakan untuk menikmati suasana desa, menjelajah ladang dan merencanakan juga untuk naik ke gunung. Terbayang ia akan menaiki Merapi kemudian juga Sumbing di mana ada desa cantik mirip kota di Nepal kata orang - orang.

Selama dua minggu Ia akan memanfaatkannya untuk berpetualang. Sebuah Impian yang sudah lama ia rindukan. Sendiri ya sendiri saja, lebih bebas tanpa ikatan.

Meniti Lembah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang