Bab 1 : Kembang Kembang Bermekaran

43 1 0
                                    


Kuncup mawar di lereng Desa Bojong mulai membuka. Mawar merah dengan rona bercampur salem. Bunganya tidak begitu wangi seperti halnya melati yang semerbaknya mudah tercium. Namun kuncup saja sudah tampak indah apalagi bila sudah bermekaran.

Sayangnya bila hendak memetik mawar harus hati – hati. Ada duri di tangkainya. Memaksa memetik bunganya tanpa melihat tangkainya beresiko terluka oleh durinya yang tajam. Anusapati jadi ingat pertemuan awal dengan Roro Wilis. Kecantikan alami gadis desa, tapi dari matanya pancaran kecerdasan memang terlihat. Ia tidak terlihat polos, tapi ia seperti magnet yang hendak menelan perhatiannya.

Ia membayangkan Roro Wilis itu bunga mawar. Kuncup saja sudah menarik, apalagi ketika mekar. Dari belakang saja melihat sekilas cara jalannya dan rambutnya yang tergerai melambai tertiup angin ia sudah membayangkan kecantikannya. Apalagi melihat dari depan dengan perawakan sempurna gadis yang beranjak dewasa.

Tapi anehnya. Ia sangat jago merayu belasan gadis desa lainnya, tapi ketika ada di hadapan Roro Wilis mati kutu. Bahkan mau merangkai kata rayuanpun ujung- ujungnya tampak aneh dan garing. Kenapa jadi aneh rasanya.

Anusapati (Hanu) Si Playboy desa Bojong tidak berdaya ketika berhadapan dengan Roro Wilis.

Bagaimana reputasi sebagai playboy bisa hancur bila ternyata banyak orang mengerti bahwa ia tidak berdaya mengeluarkan jurus rayuan di hadapan kembang desa yang sedang mekar tersebut.

"Aneh, bin ajaib, apa sih istimewanya Roro Wilis. Kenapa setiap kali mau mengucapkan sesuatu seperti tercekat di kerongkongan. Otak menjadi buntu dan hanya bisa melongo menyaksikan kecantikan yang tergambar seperti bintang Aiswara Rai waktu muda."

"Ya kalau kugambarkan sebagai bintang korea warna kulitnya sawo matang, tidak cocok dong, kalau mirip dengan bintang India yang kecantikannya mendunia itu tidak salah karena kulit Aiswara tidak terlalu putih tetapi eksotis."

Nah mata dia yang membuat Hanu begitu gelapapan. Kalau tidak hati – hati ia matanya seperti duri mawar, menusuk dan bisa melukai. Ia galak, tegas dan kata- katanya tajam menusuk, tapi ini malah membuat penasaran Anusapati.

"Bagaimana aku bisa bingung melihat sorot matanya yang tajam itu, seperti ingin menguliti diriku, tapi aku tidak boleh menyerah dia harus bisa kutaklukkan."

Anusapati kembali menatap bunga kuncup mawar yang ada di lereng desa itu tanpa sadar ia menggerakkan tangan meraih mawar tersebut. Tapi sepertinya ia tidak fokus sehingga memegang tanpa melihat duri yang ada di dekat bunga itu.

"Auwwwww." Sialan kena deh jariku tertusuk duri." Hanu lalu menghisap darah yang mengucur di ujung jari telunjuknya.

"Bagaimana kalau ini yang terjadi, mencoba memaksa memetik bunga yang sedang bermekaran itu ternyata ia bisa menyengat dengan durinya yang siap melukai itu?"

Sekali ia bertemu dengan Roro Wilis. Ia sudah melihat gambaran sekilas tentang sosok Roro Wilis tidak perlu diulang. Pada intinya ia ingin menghentikan petualangannya pada gadis- gadis desa yang pernah ia pacari dan ia rayu. Sekian banyak yang terpesona pada ketampanan dan rayuan gombalnya, tapi tampaknya ia terkena batunya saat mendekat Roro Wilis. Ia bukan perempuan sembarangan. Dan sejak pertama kali menatapnya ia malah tertunduk. Begitu tajamnya sorot matanya hingga playboy sekelasnya harus tertunduk. Duh malunya.

"Bagaimana bisa aku tertunduk melihat kilatan kelopak mata hitamnya dan senyum mengulum dari bibir mungil meronanya itu. ini aneh, aku tidak terima.!?"

Ia duduk di sambung bunga kuncup yang mulai mekar tersebut, menikmati pemandangan hijau dibawahnya. Tampak alur sungai mengular di bawahnya sungai kecil jernih yang sering menjadi tempatnya mandi waktu kecil. Sehabis mandi tidak langsung bangkit tapi mencari udang dan ikan uceng kecil yang sering menyelib di balik batuan kali tersebut. Sungaii itu penuh kenangan. Ia sering memancing bersama teman – temannya dengan peralatan sederhana, bilah bambu yang dihaluskan dengan pisau, di buang sisi tajamnya. Kayu bambu yang lentur itu tidak mudah patah hanya karena tarikan tali pancin sesaat mencengkeram mangsa ikan Lele besar dengan pathilnya yang membuat panas dingin badan.

Rasa puas sangat terasa bila bisa membawa ikan besar, apalagi bisa membawa ikan kakap yang kemudian diikat dan digantungkan di tali pancingan yang terbuat dari bilah bambu tersebut. Terkadang bersama teman yang menyiisir sungai menemukan pohon salak liar dan buah jambu ranum yang tumbuh begitu saja di tepi sungai. Buah salaknya sih agak sepat tapi peduli amat yang penting bisa mengisi perut. Kalau tidak ketemu buah – buahan yang mencari di sisi pinggir kali, di ladang sering menmukan sisa ubi sisa hasil panen, dicuci saja di sungai yang jernih itu lalu langsung dimakan.

Dulu mana pernah berpikir dengan sehat tidaknya makanan yang dicuci di sungai. Tidak sampai kepikiran macam – macam seperti sekarang ini yang makan saja harus diatur. Buah- buahan harus dicuci bersih supaya tidak ada kumannya. Bahkan jari hitam kena tanah saja sering digunakan untuk makan dan ternyata sehat – sehat saja. Aneh khan, kadang pikiran manusia mindset manusia yang membuat apapun makanannya menjadi tidak sehat.

"Roro Wilis."

Dari gerak gerik Hanu bisa tertebak ia tengah bingung, bagaimana ia seperti kerbau dicucuk hidungnya saat berhadapan dengan gadis belia dengan lesung pipit dipipinya yang berkulit sawo matang, serta rambutnya yang sedikit bergelombang. Tergerai sebahu. Rambut tebal itu seringkali menutup muka sebelah kanannya. Alis tebal seperti melengkung sempurna di atas matanya yang besarnya yang indah. Hidungnya juga termasuk bangir atau mancung untuk ukuran gadis desa, memang tidak semancung gadis blasteran namun hidung itu begiitu sempurna mengimbangi matanya yang indah sehingga Anusapati benar – benar tidak berdaya bila mata itu sedang menatapnya.

"Ya mata itu yang membuat aku tergagap. "

Hanu berdiri menyisir lereng atau tebing sambil membawa tangkai mawar yang sudah mekar dan yang masih kuncup, Menyusur tebing harus hati - hati tidak boleh melamun, kalau tidak ia bisa terpeleset dan jatuh. Senang meniti lembah ngarai di sini , sebuah desa dengan pemandangan alam mempesona, apalagi ada gadis cantik yang tidak kalah mempesonanya.

Meniti Lembah CintaWhere stories live. Discover now