Tak mendengar suara adik bungsunya itu, Ruth mencoba mendekat. Ia berjinjit, memilih jalan yang tampak lengang dan jauh dari pengawasan para tetangganya. Lalu bersembunyi di balik dinding pembatas antara dua rumah. 

"Saya nggak percaya kalo belum lihat dengan mata kepala saya sendiri." 

Wanita itu menoleh ke belakang, memberi kode pada dua pria di samping kanan kirinya untuk menerobos kediaman Ruth. Melihat keriuhan di sana, Ruth tak bisa diam saja. Ia harus melindungi keluarganya. Tapi kakinya terasa berat. 

Apa lebih baik ia tetap bersembunyi saja? Bagaimana kalau kemunculannya malah membuat wanita itu semakin meradang? Namun Ruth tak bisa menahan diri lagi kala melihat mamanya jatuh tertubruk salah satu pria itu.

"Berhenti!" teriaknya lantang. Melangkah lebar-lebar menghampiri Nyonya Janendra yang tersenyum sinis melihat kedatangannya. "Jangan sakiti mama saya!"

"Seharusnya kamu tahu apa yang akan menimpamu sebelum memutuskan mengganggu keluarga saya," kata si wanita tepat ketika Ruth berdiri di depannya. "Mata di balas mata."

Wanita itu menjentikkan tangannya dua kali. Membuat pria-pria di samping kanan kirinya bergerak otomatis seperti robot, merusak benda apa pun yang ada di teras rumah. Membating pot, menghancurkan meja dan kursi kayu dengan sekali tendang, lalu menyeret ibu dan kedua adiknya memasuki rumah. 

Tinggalah Ruth bersama wanita itu.

Hanya berdua. Di depan rumah.

Ditonton belasan mata para tetangga yang usil.

"Berhenti atau saya..."

"Berani apa kamu?" tantang Nyonya Janendra menunjukkan tatapan sengit. "Kalo saya mau, saya bisa menendang keluargamu dari kampung ini."

Otot-otot jari gadis itu menyembul. Dadanya naik turun karena emosi. Amarahnya sebentar lagi meledak. Bukan berteriak atau adu mulut, Ruth tertunduk sesaat kemudian mengangkat wajahnya yang sudah tidak terhalangi kacamata.

"Aargh... uhuk.."

Tali kencang seolah menjerat lehernya. Nyonya Janendra tiba-tiba kesulitan bernapas. Tangannya melambai-lambai meminta bantuan.

"Kau punya penyakit?" tanya Ruth tanpa melepaskan fokusnya pada leher wanita itu. Bukannya berempati melihatnya kesakitan, ia malah menyeringai puas. 

"To...long,.. U...huk!" 

Wanita itu terbatuk-batuk. Ia mencoba memanggil kedua pria yang datang bersamanya dengan menjulurkan tangannya ke samping karena ia tak bisa berteriak. Jangankan berteriak, ia bahkan merasa kehilangan pita suaranya.

Namun Ruth yang mengetahui itu, seketika memberi peringatan, "lo maju selangkah aja, gue bunuh wanita ini," tegasnya tanpa memalingkan tatapannya ke arah lain.

Ruth mungkin akan benar-benar membuat wanita itu kehabisan napas, seandainya seseorang tidak segera datang dengan mengacungkan pistol ke kepalanya.

"Kita ketemu lagi, cewek monster."

Di tempat yang berbeda, Romeo, Inge, serta Lord, dikejutkan dengan suara alarm yang tiba-tiba menggema ke seluruh penjuru ruangan. Eros yang masih berada di dapur, berlari menghampiri Romeo dan Inge yang bersama di ruangan lain.

"Hanya kalian dan aku yang bisa mendengarnya. Jika suara itu terdengar, artinya salah satu dari kalian berada dalam bahaya."

Romeo sontak bangkit dari duduknya. "Adinda? Tunggu superheromu datang, Sayang!" teriaknya penuh semangat. Mengepalkan sebelah tangannya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Emangnya lo yakin kalo yang dalam bahaya Adinda? Bisa aja yang satunya lagi, kan?" tanya Lord yang muncul dari dapur sembari menjalankan kursi rodanya.

Dengan santainya ia melewati Romeo dan Inge begitu saja. Membawa kursi rodanya ke arah lain. Tak peduli meski keduanya terlihat cemas, kebingungan serta panik setelah mendengar perkataan Eros.

"Heh, lo bisa-bisanya ngelonyor gitu aja?" Romeo emosi.

"Emang kalo salah satu dari mereka dalam bahaya, ada ngaruh ke gue? Males banget mana nggak kenal," balas Lord ketus.

Romeo celingak-celinguk. Bingung harus apa karena ia pun tidak tahu siapa yang berada dalam bahaya, di mana posisinya dan bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan orang itu. 

Di antara kebimbangannya, tatapan Romeo terlempar pada Eros yang berdiri di seberang meja. "Meleyot gitu mana bisa diandelin," gumamnya melihat Eros sedang menggigit-gigit kuku karena panik.

Sedangkan di salah satu sofa, Inge masih sibuk menenangkan Anyeong yang entah sebab apa rewel sekali malam itu.

"Argh, males banget minta tolong dia."

Namun karena tak punya pilihan lain, Romeo akhirnya membututi Lord. Berjalan di samping kursi roda lelaki itu sembari membujuknya agar bisa diajak bekerja sama. Karena bagaimana pun meski menyebalkan, angkuh, dan tidak bersahabat, Lord yang otaknya dianggap paling encer dibanding target lainnya.

***











LOADING ERRORWhere stories live. Discover now