"Hei, kok sambutan lo gini doang? Sapa dong kembarannya." Inge mengguncang pelan bahu Lord.
"Gimana mau nyapa kalo gue bahkan nggak yakin dia sodara kembar gue?"
Jangankan berjabat tangan atau sekedar melempar senyum, Lord malah memalingkan wajah. Membuat Inge yang sudah menunggu reaksinya, sontak mencebik melihat sikap dingin lelaki itu.
"Makasih yah, Kak, udah anterin aku sampe sini," ucap Inge ramah menunduk sopan pada lelaki di sampingnya.
Sementara di gendongan, Anyeong tampak tidak nyaman. Sejak datang tadi, kakinya terus menendang-nendang. Seolah ingin turun dan melepaskan diri dari gendongan lelaki di samping mamanya.
Bahkan walau Lord menatapnya sinis, Anyeong tidak membalasnya dengan kerlingan yang sama. Ia malah memain-mainkan tangannya sembari tertawa kencang seperti minta digendong.
"Kayaknya Anyeong udah nggak sabar belajar jalan, ya. Hahaha." Lelaki di depan Lord tersenyum canggung. Gendongannya makin lama makin melorot.
Setelah lama terdiam, Lord akhirnya bersuara. "Dia itu nggak nyaman lo gendong. Masa gitu aja lo nggak paham, sih?"
Inge menendang pelan kursi roda lelaki itu sembari memberi peringatan lewat kedipan mata.
"Haish, buang-buang waktu aja," gerutu Lord yang mulai menjalankan kursi rodanya.
"Eh, tunggu. Biar gue aja yang pergi. Gue tahu lo pasti nggak nyaman, kan, ada gue di sini?" Lelaki itu menahan kursi roda Lord, memindahkan gendongan Anyeong ke Inge, lalu melambaikan tangan pada keduanya.
"Dah, Kak! Hati-hati, ya! Sekali lagi makasih!" teriak Inge. Membalas lambaian tangannya dengan heboh dan penuh semangat. "Kapan-kapan mampir lagi, ya, Oppa!"
Lord mendecih sinis. "Mampir? Dipikir ini rumahnya? Sembarangan nyuruh orang mampir?"
"Memangnya ada yang ngajakin dia ngomong, ya?" Inge memang memelankan suaranya, namun tentu masih bisa didengar jelas oleh Lord. "Maaf, ya, kalo lo jadi sakit hati."
"Sakit hati?" Lord menaikkan sebelah alisnya.
Inge mengangguk dua kali. "Ya, sakit hati karena kalah ganteng dari kembaran lo," tukasnya dengan wajah polos tanpa dosa.
"Buat apa ganteng, kalo kelakuannya busuk," sambar Lord mengomentari tanpa diminta.
"Heh, itu sodara lo, kok dijelek-jelekin, sih?" Di depannya Inge tampak tidak terima. "Nggak boleh kayak gitu sama sodara."
Namun Lord tampak tidak peduli. "Apa kalo dia sodara, udah pasti dia orang baik?"
Pertanyaan yang diajukan Lord secara spontan itu, seketika membuat Inge terentak. Mendadak ia teringat perlakuan kakak tirinya selama ini.
"Bener, kan, omongan gue?" tanya Lord tersenyum skeptis melihat kebekuan di wajah Inge. "Jadi jangan sembarangan percaya sama orang."
Mendengar ucapan Lord, gadis itu menarik ujung bibirnya. "Seenggaknya dia lebih bisa dipercaya daripada lo."
Wajah Lord mengeras, merasa Inge sedang menyindirnya.
Tapi soal apa? Memang apa kesalahannya?
"Setelah gue bantuin lo sembunyi, tiba-tiba lo ngilang gitu aja. Lo ninggalin gue di tempat kita sembunyi. Dan nyaris aja gue ketangkep sama bodyguard-bodyguard lo itu."
Inge menepuk-nepuk pundak Anyeong karena tiba-tiba rewel tiap kali ia memarahi Lord.
"Kalo aja kembaran lo nggak dateng dan nolongin gue, tamat udah riwayat gue. Nggak tahu mau sembunyi di mana lagi. Karena gue yakin, orang tua lo sempet liat muka gue waktu kita kabur bareng dari rumah sakit," kata gadis itu dengan napas terengah-engah.
YOU ARE READING
LOADING ERROR
RandomEros Perlambang Asmoro, sering dipanggil Cupid Millenial oleh teman-temannya. Sebutlah Mak Comblang versi kekinian. Tak terhitung berapa banyak pasang manusia yang akhirnya bisa berjodoh berkat perantara tangan dinginnya. . Malangnya, ia mengalami...
