Maaf dan Terima Kasih

129 9 9
                                    

Syifa POV

Mataku masih enggan berkedip melihat bayangan dicermin. Riasan natural berbalut dengan kerudung putih yang jika diperhatikan lebih jeli akan memperlihatkan kesan gemilau seperti bubuk mutiara putih. Masih tidak percaya bayangan dicermin adalah diriku yang sebentar lagi akan melaksanakan akad, rasanya seperti mimpi padahal baru semalam aku berpikir bahwa masa muda adalah bagian terpenting dalam hidup. Tapi teori itu patah saat keyakinan tentang menikah muda tidak membuatku kehilangan mimpi. Mungkin bebannya akan bertambah, tapi pengalaman akan lebih menantang didepan sana. Dua sifat yang berlawanan menyatu, menantang mimpi, menguji mental. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku selanjutnya yang akan berubah menjadi kehidupanku dengan Ashraaf setelah ini. Kami memiliki ambisi yang sama, dan sepertinya memiliki tujuan yang sama, kami yang tumbuh mencari jati diri ini sudah berani mengambil keputusan besar dengan mencapai impian bersama-sama.

Tidak kusangka, 21 tahun menjadi usia terakhirku sebagai seorang gadis. Hampir sama dengan bundanya Ashraaf dulu yang juga menikah muda. Awalnya bundanya Ashraaf keberatan sama halnya denganku yang terbayang oleh ketakutan. Mungkin karena pernah merasakan jadi membuat dia sedikit khawatir tentang putranya, tapi bukan ayah Ashraaf jika tidak bisa menaklukan kerasnya hati istrinya. Aku salut dengan ayahnya Ashraaf yang begitu sabar menghadapi dua sifat berlawanan istrinya, kalau kuperhatikan memang sifat antara bunda Riana dengan bunda Kirana sangat jauh berbeda. Bunda Kirana memiliki sifat keras kepala yang sering sekali menciptakan batasan di kehidupannya. Meski dibalik semua itu bisa ditemukan bahwa dia memiliki pendirian kuat yang tidak mudah digoyahkan oleh orang lain. Sementara bunda Riana, yang kulihat dia orang fleksibel tanpa mau berpikir ribet. Apa yang bisa dilakukan ya lakukan saja. Dia tidak pernah mau membuat kesulitan yang menambah beban pikirannya.

Lamunanku terhenti saat suara langkah seseorang memasuki kamarku, ibu yang tersenyum menghampiriku. Tadi malam aku sudah memintanya untuk tidak menangis, apalagi ketika Ashraaf mengucapkan kalimat ijab kabul nanti. Ayah juga diberi kebebasan sehari untuk datang menjadi wali, itupun karena pak Akbar yang meminta izin pada Petugas Lapas Jogja dengan persayaratan yang sudah ditentukan oleh pihak Lapas.

"acara mau dimulai sebentar lagi, kita keluar sekarang ya" kata ibu yang menyampirkan selendang panjang diatas kepala. Aku hanya mengangguk, tidak mau melihat wajah ibu karena pasti akan membuatnya menangis dan akupun ikut menangis.

Aku mulai bangkit menggenggam tangannya kuat dan berjalan keluar dari kamar. Seharusnya akad dilaksanakan di Masjid, tapi karena dalam pengajuan persayaratan pembebasan sementara ayah ditulis dirumah akhirnya jadi dilaksanakan dirumah.

Para tamu sudah duduk ditempatnya, ibu membawaku duduk disamping bunda Kirana. Didepan sudah ada ayah, Ashraaf dan penghulu. Karena duduk dibelakangnya aku tidak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Apakah dia gugup sama seperti denganku? Atau menganggap hal ini biasa saja dan dia bisa mengatasi rasa groginya dengan mudah? Saat sedang mendengarkan lantunan ayat Al-Quran yang dibacakan penghulu, ada yang mengusap pundakku dari belakang. Adis juga datang bersama orang tuanya, kali ini dia memakai kerudung warna merah jambu sesuai dengan selingan baju batik yang dikenakannya. Sangat cantik karena aku belum pernah melihat dia memakai kerudung seperti ini.

Begitu penghulu selesai membacakan ayat Al-Quran, suasana semakin terasa senyap. Perasaanku mulai gugup lagi dan detak jantungku tidak bisa dikendalikan. Ayah mulai menjabat tangan Ashraaf, rasanya detik seperti berjalan melambat sekarang. Benar-benar sudah memuncak perasaan tidak tenang yang sekarang sedang dirasakan. Perlahan tapi pasti suara ayah mulai terdengar membacakan kalimat sakral itu, menciptakan keheningan yang mungkin sekarang sedang disaksikan juga oleh para malaikat dan alam semesta.

"saya terima nikahnya Maira Nur Syifa binti Fandy dengan seperangkat alat sholat dan emas seberat 100 gram dibayar tunai"

Begitu semua orang mengucapkan kata sah, ibu langsung memelukku, menangis sampai bahunya terguncang. Lafal yang hanya diucapkan sekali oleh Ashraaf terdengar lantang tanpa ada kesulitan sama sekali. Air mataku sudah tidak bisa ditahan lagi, aku menangis terharu untuk hari dimana sekarang surgaku terletak pada ridhonya suamiku. Setelah berpelukan terharu dengan ibu, air mataku semakin tidak bisa dibendung lagi begitu wanita disampingku memelukku dengan erat. Tak kalah dengan ibu, wajahnya memerah dan basah saat membawaku dalam pelukannya. Kini aku bukan lagi anak dari ibu saja, aku sudah memiliki keluarga baru.

Syifa dan Ashraaf [COMPLETE]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin