15

28 6 4
                                    

Selamat membaca ...

"Mau jadi pereman di sekolah?"

Noah hanya menunduk lesu saat Gaby dengan terang-terangan tanpa rasa takut memarahinya di depan parkiran sekolah. Gadis itu berkacak pinggang sambil tak berhenti mengoceh.

Seharusnya Noah juga melihat gadis ini mengamuk kepada para perundung di depan loker tadi.

"Kok diem, gak suka Aku ceramahin?" tanya sarkas Gaby ketika menyadari lelaki dengan otot besar di hadapannya tak menggubris ocehan yang sudah dirinya berikan.

"Suka, suka," angguk Noah pasti. "Tadi aku jawab Kamu marah," jawab Noah dengan polosnya sambil memainkan ujung sepatu pada pasir di atas tanah.

Gaby mendengus kesal mendengar itu. Jika sudah melihat sisi menggemaskan dan lucu dari seorang Noah, mana bisa Gaby marah lebih lama. "Janji gak akan berantem lagi?"

"Janji."

"Janji nyelesain masalah pake otak bukan otot?"

"Janji."

"Janji abis ini langsung baikan?"

"Jan—eh," kerjap Noah sambil menutup mulutnya terkejut. Tapi lebih terkejut saat melihat wajah jengkel dari gadis di depannya. "Janji, promise okey."

***

Lee Noah atau biasa disapa Noah terkenal tidak banyak bicara dan berhati dingin. Tapi lelaki dengan rahang tegas dan hidung tajam itu budak cinta Gabriella Somi setengah mati.

Tidak banyak yang tahu—hanya beberapa teman dekat saja.

Untuk kesekian kalinya Noah menguap lebar. Masa bodo dengan tatapan sinis orang sekitar yang merasa terganggu. Intinya Noah sangat mengantuk dengan les hari ini.

Juga hari esok dan hari-hari sebelumnya.

"Hey," tiba-tiba ada seorang gadis yang mencolek lengannya dengan pelan. Noah sekejap terpaku. Cantik, segar, dan terlalu imut—rasanya gadis seusia itu belum waktunya mengikuti les persiapan kelulusan SMP.

"Ini permen kopi, kayanya Kakak ngantuk deh."

Entah mengapa Noah menarimenipiskank bibirnya beberapa centimeter. Tersenyum tiba-tiba saat melihat gadis itu tersenyum juga. "Eh, thanks."

Karena mendengar gadis itu memanggik 'kakak', berati tebakan Noah benar. Jika gadis itu lebih muda dari dirinya.

Setelah kejadian permen itu, Noah menjadi tidak fokus. Walau sejujurnya selama les Noah memang tidak pernah fokus. Intinya, gadis tadi sungguh menarik perhatiannya.

Cara dia tersenyum, menjawab pertanyaan mentor, bahkan mengajari teman lain yang kurang paham.

Apa ini namanya suka?

Noah menampar dirinya sendiri dengan pelan. Bisa dikira gila jika sedari tadi dirinya cengengesan sambil memandang seorang gadis.

Tapi ajak kenalan tidak ya?

"Umm, Kak boleh minjam pena atau pensil juga boleh?"

Noah spontan memberikan pulpen kenko dalam genggaman kepada gadis itu. Padahal dirinya hanya membawa satu. Tapi apa perduli—toh dirnya juga tidak akan menulis.

Sampai bel pulang berbunyi Noah segera berkemas lalu berjalan keluar dengan segera. Saat tungkai itu hendak melangkah ke zebra cross seorang menarik lengannya. Membuat Noah kaget dan menarik tangannya kuat. Ekspresinya pun seperti biasa—dingin.

"Eh maaf," ucapnya tak enak hati. Ternyata yang menariknya adalah gadis tadi. "Ini Cuma mau balikin pena. Makasih banyak."

Noah hanya memandang gadis di depannya dari atas sampai bawah. Wajahnya imut tapi tubuhnya semampai. Di punggungnya juga ada tas gitar hijau toska.

"Eh iya, Gue kira siapa."

Gadis itu terlihat lega. Lalu sedikit menunduk sebelum melangkahkan kaki menuju arah lain.

Kali ini Noah yang menarik lengan gadis itu.

"Ekhm, boleh tau nama Lo?" ragu Noah. terlihat jelas dari ekspresi dan gestur tubuhnya.

Gadis itu tersenyum, "Gaby, Gabriella Somi dari SMP Unggul Sakti."

***

Gaby memainkan pulpennya dengan gelisah. Di tengah sunyinya perpustakaan sekolah pada jam istirahat, Noah mengajaknya bertemu. Lelaki itu katanya ingin mengatakan sesuatu.

"Eh, hai" sapa Noah kikuk. Apalagi menyadari kehadirannya terlambat beberapa menit. Mengingat, sosok Gaby ada pribadi yang selalu tepat waktu dan tidak suka ngaret.

Gaby mengangguk. "Aku mau ngomong."

"Gue mau ngomong."

Ucap mereka bersamaan. Atmosfer canggung lebih terasa. Apa-apaan ini, biasanya tidak seperti ini.

"Duluan aja, kan Lo yang ngajak ketemu," pinta Gaby seperti biasa. Sungguh, kecanggunagan ini sama sekali tidak mengenakan.

"Emm, Jaehan kayanya inget semua," ucap Noah. Kalimat itu terdengar to the point, tapi nyatanya itu hanya sekadar basa basi.

Gaby menutup buku lalu merapikan pulpen dan peralatan menulis yang lain. "Oh ya, cuma mau ngomong itu?"

Noah menelan bulat air liur dengan susah. Sepertinya membawa topik Jaehan bukan hal yang baik. "Ngasih tau aja. Karna hal itu Gue mau ngomong sesuatu."

Gaby menautkan kedua alisnya bingung.

"Ini yang kesekian kalinya, sumpah garing dan gak romantis." Perlahan Noah meraih jemari Gaby yang bertaut di atas buku. "Jadi pacar Gue, mau?"

Kembalinya ingatan dari seorang Jaehan membuat Noah sama sekali tidak tenang. Oleh karena itu, pemuda itu mengambil tindaakan yang sekiranya yang paling baik yang harus dirinya lakukan.

Yaitu mengajak seorang Gaby untuk menjadi kekasihnya.

Lagi

Sebelum gadis itu jatuh ke dalam pelukan sosok Jaehan

Lagi

Gaby terdiam dalam hitungan detik. "Tadi Gue bilang mau ngomong sesuatu juga kan Jen?"

"Hah—iya." Noah sudah gugup dan kehilangan fokus.

"Yang Gue mau bilang itu, kalo Gue nerima ajakan Lo pacaran yang bulan lalu."

Kedua mata Noah membola. Pastinya tidak percaya dengan apa yang diucapkan gadis di hadapannya.

Apa dirinya sudah salah dengar.

Apa Gaby yang salah bicara.

"Pukul, cubit, jewer atau apalah itu," Pinta Noah sambil memajukan wajahnya.

Gaby dengan senang hati menarik keras ujung hidung Noah yang mancung. Membuat Noah otomatis meringis kesakitan.

Tapi setelahnya lelaki itu tersenyum bahagia.

Sakit, fix ini nyata.



Terimakasih sudah membaca. Jangan lupa tekan bintang dan tinggalkan jejak di kolom komentar. Nantikan bab selanjutnya.

Missing Puzzle PieceWhere stories live. Discover now