CHAPTER 28

261 52 111
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mantel Jimin sudah beralih menuju daksa Jiya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mantel Jimin sudah beralih menuju daksa Jiya. Daksa kenya tersebut hanya terbalut gaun tidur mini yang tidak kapabel memberikan kehangatan pada Jiya. Visus Jimin menangkap secara jelas bahwa labium yang selalu terlihat biram itu pucat pasi dan sedikit bervibrasi, begitupun dengan warna epidermisnya yang makin memucat. Tatkala punggung tangan Jimin mendarat di kening Jiya, ia disambut dengan suhu yang cukup panas.

Jiya sakit. Baru kali ini ia melihat Jiya selemah itu.

Hanya saja, satu hal yang membuat Jimin tidak mengerti adalah kenapa Jiya terlihat tidak peduli dengan dirinya sendiri. Ketimbang memeluk dirinya sendiri demi memberikan kehangatan, perempuan itu malah dengan telaten membersihkan dan mengobati luka-luka Jimin melalui ekuipmen medikamen yang selalu Jimin bawa di radas transportasi ini.

Nyenyat mewarnai atmosfer di dalam mobil ini. Kendati suasana di luar cukup azmat lantaran suara fluida dari taman air di papan Jimin beserta suara dersik angin yang cukup kuat menghembus, yang Jimin rasakan sekarang adalah rasanya desibel vokal tidak terdeteksi sama sekali. Jimin terpana perkara bagaimana Jiya mengobatinya secara telaten sekaligus serebrum yang dipenuhi rasa khawatir akan kesakitan Jiya.

Lantas, sepersekian sekon, Jimin menggapai tangan Jiya demi memblokir pergerakan hingga membuat Jiya mutlak menatap Jimin dan berhenti bermain dengan kapas dan medikamen. Sebelum menguarkan vokal, Jimin meraih surai Jiya yang terikat elok, kemudian meraih pengikat rambut elastis hingga rambut tergerai elok menutupi epidemis leher yang terlihat.

“Jangan sakit, ya,” tutur Jimin lembut dengan telapak tangan menghinggap di sisi wajah Jiya.

Jiya tersenyum. “It’s not a problem, Jimin. Aku sudah pernah mengandung. It’s normal.”

Jiya serius soal itu. Bahkan ini lebih baik ketimbang yang pertama. Saat awal-awal garba Jiya terisi Jisa, Jiya bahkan selalu menangis karena memang tak sanggup atas rasa sakit yang menjalar di daksanya. Untuk yang kali ini, Jiya bahkan sempat mampu untuk menahan sakit demi berlakon. Jadi, baginya ini bukan apa-apa. Meski sedikit mirip orang sekarat.

Bukan hanya karena itu juga. Jiya super tertekan akan sirkumstansi sekarang ditambah dengan realitas perkara bisnis luksuriusnya yang berada dalam mintakat antara hidup dan mati.

𝐌ㅡ𝐒𝐢𝐧𝐚𝐭𝐫𝐚 [✓]Where stories live. Discover now