✏ Satu √√

125 96 49
                                    

Happy Reading 📖


Kelas 10 SMA Buana 21, 2019

Senin, 07:00 WIB.

Kedua bola mataku menatap lurus ke arah gedung besar dan megah itu, tidak pernah aku pikirkan sama sekali aku akan menjadi salah satu dari muri di SMA Buana 21 ini. Kulirik jam stainless dipergelangan tangan kiriku, memastikan kalau aku tidak kepagian atau kesiangan tiba di sekolah ini.

Kakiku bergerak melewati jalan beraspal dan halaman besar, kemudian melirik ke kanan dan kekiri mencari salah satu siswa atau siswi yang berpakaian sama denganku. Nihil, tidak ada sama sekali. Dan itu membuatku kembali membaca plang bertuliskan nama sekolah. Kepalaku menggeleng pelan, setelah membaca nama sekolah ini. Tidak salah.

"Permisi kak, aula di mana ya?" tanyaku kepada seseorang perempuan berjas osis yang kebetulan berjalan lewat.

"Loh, kamu telat? Acaranya udah dimulai dari tadi," mataku membola mendengar perkataannya.

"Bukannya jam setengah 8?" tanyaku memastikan.

Kakiku melangkah mengikutinya setelah ia menyuruhku untuk mengikutinya, tanpa menjawab pertanyaan dariku. Tanganku bergerak mengecek handphone, kembali membaca isi pesan dari aplikasi berwarna hijau. Dan iya! Aku memang terlahir tanpa Privilege.

Padahal dengan jelas pengumuman mengenai MOS dilaksanakan pukul setengah tujuh dan dengan cerobohnya aku tidak membacanya baik-baik, karena drama Doh kyungsoo lebih menarik malam itu.

Kepalaku mendongak menatap keadaan sekitar, kemudian gendang telingaku menangkap sumber suara keramaian yang sepertinya adalah Aula.

"Ngapain masih di luar? Masuk!" suara cempreng yang berasal dari pengeras suara membuatku berjingkat kaget.

Tidak ingin membuat lelaki yang sepertinya adalah ketua OSIS itu marah, dengan langkah tergesa-gesa aku segera memasuki Aula yang langsung hening tidak ada suara sama sekali.

"Nama?" tanyanya setelah aku berdiri tepat dihadapannya.

"Camell, ka."

"Kenapa telat?" tanyanya dengan nada tinggi tanpa melepaskan pengeras suaranya.

Satu aku tidak suka menjadi bahan perhatian, dan semua mata menatap ke arahku. Dua, aku tidak suka bentakan.

"Kar- Karena telat, ka." jawabku mengeluarkan kata yang ada di ujung lidahku. Tidak kusangka hal itu membuat seisi Aula tertawa karena jawabanku.

Aula kembali hening ketika pemilik pengeras suara itu kembali berbicara.

"Nyanyi balonku pake huruf O," ucapnya yang terdengar seperti sebuah hukuman.

Tanganku bergerak ragu-ragu menerima pengeras suara yang diberikannya, mendekatkannya ke arah bibirku yang sedikit bergetar karena nervous. Mataku bergerak memandang seisi Aula dengan wajah tidak sabar menungguku untuk bernyanyi, dengan iseng aku malah menghitung beberapa ikat rambut di atas kepala mereka. Hal itu seharusnya membuatku tertawa karena melihat kepala rindang seperti pohon beringin, namun tidak untuk sekarang.

"Bolon-"

"Ren, Aiden nyekik pak Husen." ucap seseorang dengan nafas tersengal di ambang pintu membuatku berhenti bernyanyi.

Dengan cepat lelaki di dekatku yang sepertinya terpanggil berlari ke arahnya, mataku memandang seisi Aula. Wajah yang tadinya menahan tawa kini berubah kaget karena mendengar topik dari salah satu lelaki yang datang tiba-tiba.

Selamat, mel.

°°°°


Hal itu membuat kedua sudut bibirku terangkat, merasa bebas sekalipun senang karena kepergian beberapa cowok yang sedari tadi mengganggu.

Beauty stress (Blm end, Lgi Revise) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang