Rencana 5 :: Venice dan Efek Sensitifnya

33 8 0
                                    

"Re, kita bisa pulang aja nggak, sih?" Nasya menatap dengan memelas ke arah sahabatnya. Kedua tangan Nasya melingkar di lengan bawah Tere dan sedikit menariknya.

Gadis dengan tatanan rambut kepang cut—kepangan ditarik ke atas—itu sedikit mengerucutkan bibir. Dia melepas pegangan itu, lalu beralih merangkul Nasya dan mendorongnya untuk terus menuju pintu masuk.

Nasya yang merasa diabaikan pun menggerutu. Dia menggembungkan kedua pipi, lalu mengikuti kemauan Tere. Sementara itu, matanya lurus ke depan di mana sosok perempuan berblouse pendek motif dengan paduan celana kulot bahan warna hitam sedang berjalan antusias ke arah loket penjualan tiket.

"Heh! Kamu emang mau bikin Oma cemberut lagi?" Tere setengah memperingatkan.

Oke, Nasya tidak bisa berkomentar mendengarnya. Sadar tidak ada jalan lain untuk mundur, dia mengembuskan napas dan menyusul Meutia.

Meutia merentangkan kipas lipat bergambar bunga sakura dengan latar warna putih. Benda itu dia beli sekitar lima bulan lalu saat ikut Faisal ke Jepang. Tentu dirinya membeli lebih sebagai salah sati buah tangan untuk beberapa teman arisan dan orang-orang kompleks. Berkat putranya itu yang bekerja sebagai pilot, Meutia tidak kena cas bagasi.

"Nasya, kamu antre gih! Oma tunggu di sini aja. Panas," ucap Meutia saat Nasya dan Tere sudah berada di dekatnya.

Nasya melepas pegangan di lengan Tere. Dia lalu menyilangkan tas selempangnya yang muat jika dimasuki mukena, dompet panjang, dan beberapa barang lain ke dada. "Uangnya mana?" Dia menengadahkan tangan kanan kemudian.

Meutia menaikkan kacamata hitamnya ke kepala. Dengan agak mengernyitkan dahi, dia bertanya, "Papamu nggak ngasih kamu duit?"

Nasya menggeleng. "Lah! Gara-gara Oma, sih! Semalam aku jadi lupa mau minta uang ke Papa."

Meutia memundurkan kepala dan menatap sangsi Nasya. "Dih! Kok Oma yang disalahin?" Jelas sekali dirinya tidak mau dituding sebagai penyebabnya.

"Iya, pokoknya gara-gara Oma!" gerutu Nasya. Akibat memikirkan cara untuk mengembalikan mood sang Oma, pikirannya jadi teralihkan penuh untuk mengisi ulang saldo ATM.

"Udah, yuk! Keburu panas nih," sela Tere seraya menyipitkan mata ke arah barisan pengunjung Little Venice Bogor yang mengular. Sinar matahari sudah mulai membuat pandangan silau.

Hari sudah menunjukkan pukul 09.55 WIB saat Nasya dan Tere mengisi baris antrean. Dalam mode tunggu itu, Nasya kembali menggerutu mengingat rencana awal mereka untuk datang pagi gagal.

Meutia membuat seisi rumah heboh usai sarapan karena kacamata kesayangannya tidak terlihat di meja rias. Alhasil, Nasya dan Dava harus ikut mencari benda merek Dior itu ke setiap sudut ruangan. Dava sempat menyarankan untuk mengganti dengan kacamata lain, tetapi Meutia enggan. Nasya yang sudah mandi pagi jadi kegerahan meskipun ada di ruangan ber-AC. Dia sampai lapar lagi karena mereka belum menemukannya, padahal sudah sejam mencari.

Saat akan mengeluh lelah dan ingin mengisi perut lagi itulah Dava berteriak "ketemu!" dari arah kamar mandi lantai bawah. Tepatnya dekat dapur. Nasya yang sedang memindai kolong sofa ruang tengah langsung menghela napas lega dan lelah sekaligus. Sementara itu, Meutia yang mencari di area dapur pun menghampiri Dava dengan tergopoh-gopoh. Dava menemukannya di dasar keranjang baju kotor.

***&***

Setelah mendapatkan tiket masuk sebesar Rp 25.000,- per orang, mereka check in. Petugas melingkarkan sebuah gelang warna biru untuk setiap pengunjung. Begitu mereka sudah berada di dalam, Meutia langsung mengajak Nasya dan Tere untuk menaiki gondola. Dia ingin menikmati replika Grand Canal Venice, Italia.

Oh, My Grandma!Where stories live. Discover now