Rencana 3 :: Sidang untuk Oma

49 14 13
                                    

Nasya yang sejak setengah jam lalu sesenggukkan di dekapan Dava pun menyusut kedua sudut mata saat melihat sosok perempuan yang mereka khawatirkan terlihat. Bayangan Meutia yang baru turun dari mobil seseorang dengan tersenyum lebar dan wajah berseri-seri jatuh di retinanya dan sang kakak.

Seketika dia berdiri dan berseru, "Papa! Oma pulang!"

Faisal yang baru akan mengambil air minum urung. Kakinya yang tengah menapak di ruang tamu putar balik akhirnya.

Nasya memimpin jalan menuju halaman rumah untuk menghampiri Meutia. Dava dan Faisal menyusul di belakangnya. Angin pukul 23.05 WIB sedikit menusukkan rasa dingin. Langit nampak begitu gelap karena mendung yang berarak hingga mengundang aroma petrichor. Dia menduga sebentar lagi akan turun hujan.

"Oma, Oma dari mana aja? Oma baik-baik aja?" tanya Nasya dengan pelafalan yang cepat. Mata sembamnya menyorot cemas ke arah Meutia sementara hidung merahnya kembang kempis.

Meutia terdiam menatap air muka cucu kesayangannya. Tidak lama kemudian, dahinya mengerut karena merasa ada yang salah dengan gadis itu. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan santai, tetapi sorot matanya mencerminkan keheranan.

"Omaaa!" seru Nasya seraya menahan tangis, tetapi gagal.

Meutia bak patung untuk sepersekian detik sebelum menangkap sesuatu. Dengan gerakan cepat, dia memindahkan dua paper bag berukuran sedang dari tangan kanan ke kiri. Lehernya kemudian menjulur ke depan sementara kedua matanya yang berbingkai eyeliner melihat ke arah belakang Nasya.

Meutia menatap curiga pada seorang laki-laki yang berkaus lengan panjang. Tangan kanannya menuding sosok itu sembari melangkah maju. "Heh, Dava! Kamu apain adik kamu sampai mewek begini? Oma kan berkali-kali bilang jangan jailin Nasya mulu. Kapan kamu mau dewasanya, sih?" omelnya dengan kesal.

"O-Oma, Oma, stop!" Secepat kilat Faisal menengahi. Dia sampai harus merentangkan kedua tangan di antara Meutia dan Dava. Bahkan sepasang kakinya juga merenggang. Detik ini dirinya merasa berlagak seperti orang aneh. Sementara itu, Dava bengong karena bingung kenapa Meutia menuduhnya begitu.

Meutia menurunkan tangan, lalu membenarkan posisi kacamata hitam yang bertengger pas di atas kepalanya. "Ada yang mau jelasin?" tuntutnya.

Faisal menghela napas cepat, lalu mengarahkan sepasang matanya pada sang ibu. "Mama yang harus kasih penjelasan ke kami."

"Eh, lho! Kok kamu masih di rumah? Katanya ke Samarinda."

Luar biasa, puji Nasya dalam hati. Omanya memang pintar sekali mengalihkan perhatian.

"Itu bisa kita bahas nanti. Ayo, masuk dulu!" Faisal memberi isyarat juga lewat gerakan tangan agar mereka semua mengikutinya.

Faisal membawa mereka ke ruang keluarga. Dia mendaratkan pantat di sofa single warna cokelat susu. Kedua lengannya tertumpu pada lengan sofa. Sementara itu, Dava menyalakan lampu gantung kristal bentuk delapan lilin yang berfungsi sebagai penerangan utama ruangan tersebut. Barulah dia duduk bersamaan dengan Nasya.

Meutia duduk di sebelah Nasya yang menempati sofa panjang. Semua barang belanjaannya dia taruh di sisi sofa yang masih kosong.

"Jadi, ada apa?" tanyanya kemudian sembari melepas kacamata dengan gerakan luwes.

"Ya ampun, Ma! Apa Mama nggak ngerasa udah bikin kita semua panik?" Laki-laki yang sudah berbaikan dengan Nasya sekitar sejam lalu membuka mulut.

Sebuah senyum tipis yang memberi kesan puas terlihat di bibir Meutia. Pertanda dirinya paham arah ucapan anaknya. Dia meletakkan kacamata di meja dan berdeham, lalu menatap Faisal dan menjawab, "Ya udah, izinin Mama liburan!"

"Ma, Mama tuh udah tua. Ngapain, sih, masih aja ikut ibu-ibu itu?" Wajah Faisal menampakkan gemas, tetapi juga cemas.

Meutia menelengkan kepala sesaat sementara air mukanya mencerminkan aktivitas berpikir.

Nasya tidak sabaran maka menginterupsi, "Oma kenapa nggak bawa hape? Kami bingung mau nyariin Oma ke mana."

Meutia sedikit tersentuh karena melihat wajah cucu perempuannya sembap. Dia sadar diri jika itu karena mencemaskannya. Namun, dia mengubah air muka menjadi santai lagi dengan segera. Seraya mengangkat ponsel baru yang ada di genggaman dan menatap Nasya, dia berujar, "Oma habis beli ponsel baru, Sayang. Karena nggak boleh ikut piknik, ya sudah, Oma jalan-jalan aja beli ponsel baru."

Faisal berdecak, lalu meraup wajahnya yang sudah lelah. Sekarang ditambah lagi harus menghadapi kelakuan mamanya.

"Oma kan bisa bilang dulu ke kami biar nggak nyariin," usul Dava yang jelas sia-sia.

Dengan santainya, Meutia mengangkat kedua bahu. "Sengaja."

Faisal mengembuskan napas lelah. "Ma, Mama itu udah nggak kayak dulu lagi. Mama berhenti deh ikut grup nggak penting kayak grup wali murid Nasya pas SMA, alumni kuliah, grup rekan kerja Mama dulu, dan apa lagi tuh?"

Maksud hati Faisal bicara seperti itu adalah karena Meutia jadi kerap ada janji temu sana-sini bersama orang-orang di grup tersebut. Mungkin memang orang-orang itu berniat baik, tetapi Faisal merasa dari sisi mamanya yang tidak bisa membatasi aktivitas tersebut. Sebenarnya, dia tidak akan mengeluarkan larangan untuk bermedia sosial jika Meutia cerdas memanfaatkan grup-grup tersebut.

Gestur santai Meutia berubah jadi kaku. Matanya mengarah pada sang putra yang tidak sejalan dengan pikirannya. "Terus apa? Mama harus terus berada di rumah dan nggak boleh pergi ke mana pun? Mama tuh nggak betah kalau di rumah terus."

Faisal sangat paham jika sosok mamanya itu memang tidak betah untuk berdiam diri. Sejak masih muda, Meutia sudah terkenal aktif dan gesit. Di dalam lingkungan rumah maupun di sekolah, mamanya itu kerap mengikuti berbagai kegiatan. Sayangnya, energi itu masih ada hingga usia Meutia menginjak angka tujuh puluh. Meskipun raga terlihat masih bugar, tetapi Faisal ingin Meutia mengurangi kegiatan. Terlebih lagi jika itu tidaklah penting.

"Ma-"

"Udah!" potong Meutia seraya berdiri dengan cepat, lalu meraih semua belanjaan. Sebelum beranjak meninggalkan tiga orang yang menentangnya terus, dia berujar, "Mama mau tidur."

Detik selanjutnya, terdengar ketukan wedges setinggi 5 senti milik Meutia pada lantai keramik beige ukuran 60 x 60 senti. Meutia lelah dan apa yang didapatkan begitu sampai rumah membuat hatinya memanas. Saat ini hatinya terasa dongkol dan ingin mengomel balik, tetapi seperti tidak ada tenaga untuk itu. Maka dari itu, dirinya memilih ke kamar dan beristirahat.

Sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu, Meutia merasa tidak ada yang bisa mengertinya sebaik mendiang. Jika dibandingkan dengan putranya dan Dava, Nasya memang jauh pengertian dan sayang padanya. Namun, ada kalanya Nasya menjadi menyebalkan karena berada di pihak Faisal dan Dava. Iya, seperti beberapa saat lalu.

Memang apa salahnya jika Meutia kerap keluar untuk bertemu teman-teman?

Toh dengan bertemu mereka, perasaannya justru menjadi bahagia. Dia pun merasa sebaliknya; jika berada di rumah, justru ada rasa mencekam dan sesak yang menyerang dadanya.

***&***

Ramadan 7th; 10.47 PM; April, 19 2021

Gamsahamnidaaa,
Fiieureka

Oh, My Grandma!Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu