If I were you, I wouldn't make relationship with him, Dania.
•••
Andaikata kita diberi pilihan, antara kebahagiaan dan kesedihan, apa yang kita pilih? Simple, opsi pertama jelas menempati tahta tertinggi. Tetapi itu hanya andaikata, in fact, skenari...
Silakan ambil posisi ternyaman untuk kalian membaca bagian prolog dari 'Niagara'. Aku suguhkan 500 kata lebih untuk bagian ini. Aku tidak menuntut kalian untuk vote dan komen, karena ketika cerita ini membekas di hati kalian, membuat kalian terhibur, I also feel that pleasure.
Can I be him-James Arthur.
Nikmati play list-mu! Ps. Ada ikon alay. Maaf ya soalnya aku lagi dalam mode alay-alay. Huhu. Dan satu lagi, quote di setiap part nggak semua selaras dengan isi part. Jadi ya, nikmati aja apa adanya.
Typo bertebaran. Mohon koreksi.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kamu hanya punya satu nama, karena itu jaga dan pertahankan.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"Romance mulu, lo. Tapi jomblo nggak pernah khusnul qotimah." Selanjutnya terdengar tawa jenaka dari sahabat semasa Menengah Pertama. Dania membolak-balik novel berjudul The Paper Dolls yang memang ber-genreromance dengan mata hitam besarnya geli. Mengundang dengusan kesal dari Maria, sang Empu yang merasa diejek habis-habisan.
"Lo nggak tau aja, sih. Novel romance yang gue baca ibarat referensi buat gue lebih siap mengakhiri masa jomblo nanti. Kalo ntar hubungan gue dilanda prahara, ya... who know's? Gue udah belajar banyak dari novel-novel ini." Mendengar statement dari lawan bicaranya sontak membuat Dania makin tergelak dan refleks terduduk di bangku depan Maria dengan tangan kanan memukul-mukul meja kayuㅡhal lazim ketika humornya anjlok. Sementara buku novel Maria sudah tergeletak mengenaskan.
Maria menatap jengah, "lo kenapa, sih? Seneng banget ya, ngetawain gue. It's not joke, Dude. Gue serius!"
"Ah, astaga... Ya Tuhan." Dania menepuk kedua pipinya guna mengenyahkan sisa-sia menggelitik yang menguji sumbu kesabaran sang sahabat. Menarik napas panjang, mendengkus geli. "Okay, calm! Gue cuma nggak habis pikir aja. Setelah kemaren lo bilang fluensi dan kalkulasi yang apalah itu, sekarang lo berkilah dengan alasan referensi? Bahasa lo udah kayak Vicky Prasetyo aja."
Well, dengan semua kegilaan khas Maria yang menyisipkan menjadi sastrawan dalam bucket list-nya, terkadang susunan kata Maria terdengar aneh di telinga Dania.
"I don't care, Nya. Lagian novel yang gue baca best-seller semua. Ceritanya juga nggak menye-menye. Emang percintaan lo yang drama itu, kalo gue bikin bentuk novel, gue yakin nggak akan ada yang mau baca."
Dania melotot sambil mendaratkan sentlikan pada dahi Maria. Membuat Maria yang kembali menyelami dunianya dengan buku novel tersebut mengaduh jengkel.
"Ouch! Resek, lo!"
"Shut your mouth up, Mar. Lo tuh, ya. Lieur aing, lah. Annoying banget mulutnya, gue ngomong apa, lo nyambungnya ke mana. Untung kita teman. Kalo nggak udah gue lempar ini meja ke muka lo." Dania dengan dada kembang-kempis kemudian bangkit. Menatap sengit sahabatnya yang memasang wajah datar-datar saja. Maria memang tidak bisa membuat Dania keep calm sehari saja. Tapi anehnya dia masih saja betah menjalin pertemanan.
Setelah satu tarikan napas panjang guna mengenyahkan kedongkolan, Dania memutar tubuhnya. "Gue ke kantin dulu, deh. Masa iya gue jadi nyamuk di sini. Lo mau nitip apa-apa, nggak? Nggak usah, deh, ya. Gue mau pundung dulu. Kalo gitu gue duluan. Bye!"
Namun baru sampai langkah ketiga, suara Maria berhasil menginterupsi, membuat langkahnya terhenti.
"Gue titip buble, ya? Rasa green tea. Kalo kosong rasa redvelvet juga boleh."
"Rasah bayar!" Dania menyalak.
"Hah?"
"Nope. Mending lo ikut gue aja ke kantin, yuk? Gue nggak open jasa kurir soalnya. Daripada lo sendiri di kelas gini, ntar yang jadi penunggu toilet ganjen ke lo, gimana?"
Maria menatap bingung, "lo apaan, deh? Kurang kerjaan sekali hantu toilet ke sini? Lo pikir itu hantu traveler? Udah sana, mumpung break-nya masih rada lama. Apa lo nggak ikhlas gue titipin?"
Dania melotot tidak terima. "Suud'zon aja terus sama gue. Gue tuh bukannya nggak ikhlas. Tapi tangan gue cuma ada dua. Jadi mending lo ikut gue aja."
"Siapa juga yang bilang tangan lo lima, Dania! Satunya buat pegang jajan lo, satu lagi buble tea gue. Ribet amat, sih?"
"Ah, itu. Lupa gue." Maria mengernyit melihat Dania yang terkekeh seraya menepuk dahi. "Gue tuh mau beli milkshake dua. Satu buat gue, satunya buat Gara. Jadi gue mana bisa bopong buble tea lo. Jadi sorry to say, Mar. Lo pake aja kaki lo biar sampai kantin."
Maria memicing, "Gara?"
"Iya. Masa Bambam? Kalo Bambam kan dari jaman orientasi naksir lo, tapi sayang... dighosting mulu, yhaaaa. Jahat lo!"
Maria berdecak, mengabaikan ejekan super menyebalkan dari Dania. "Lo tau kan, Gara jadian sama Isabel?"
"Hah? Isabel? Sodaranya Belle Beauty and the beast, bukan?" Tanya Dania.
"Gue serius!"
"Lo mau seriusin gue? Siaㅡ"
"Dania!" Seru Maria nyaris berteriak.
Dania terdiam beberapa saat, sampai kemudian menarik ujung-ujung bibirnya ke atas. Membentuk sebuah kurva dengan spektrum menawan di sana. Menatap lamat-lamat sahabatnya.
"Isabela, ya?"
Maria bergeming.
"I know. Isn't he amazing, Maria?"
.... Yeah, he is amazing,
Dania.
To be continue. ○●○
Dania|Maria
Kalian pasti punya, kan. Close friend... life is better with true friend. Sama halnya Dania dan Maria ini, ukurannya bukan seberapa lama saling mengenal, tapi seberapa banyak orang itu memahami kamu pun sebaliknya. Ibarat rain and shine, memang, sih, bertolak belakang. Tapi sebab itulah mereka saling melengkapi. Seperti halnyaDania dan Maria.
Tapi, eh, tapi... siapa Bambam?
Isabela?
And then, Gara?
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.