Melihat Mommy nya yang terlihat ingin menyetujui usulan dr. Drew, Mattheo yang tidak Terima dan terlihat gusar, memilih untuk keluar dari ruangan itu. Dia dengan sekeras mungkin membuat tampilan wajah yang terlihat bosan untuk pembicaraan itu.

Setelah keluar dari ruangan Dr. Drew, Mattheo berjalan menuju sebuah ruangan lainnya. Ruangan itu dijaga oleh 2 orang pria berbadan tegap. Saat melihat Mattheo yang berjalan ke arah mereka, tanpa aba-aba, mereka membuka ruangan itu.

Di dalam ruangan itu, tampak seorang wanita berambut panjang, dengan kulit putih pucat dan tubuh yang semakin kurus. Dia duduk di ranjang yang terletak di tengan ruangan itu, menatap kosong ke arah jendela.

Mattheo mendudukkan dirinya di kursi sebelah ranjang itu. Menatap dengan perasaan yang campur aduk. Dia merasa kebingungan, dengan perasaan yang dia miliki. Dia ingin marah. Tapi, sungguh tidak mengerti untuk apa dia marah. Apa untuk kematian daddy yang disebabkan oleh orang tua wanita itu, atau marah karena keadaan wanita di depannya tidak kunjung membaik.

"Apa yang sebenarnya kau fikirkan? Apa yang terjadi padamu, bukanlah sebuah akhir. Mengapa kau menghukum dirimu sendiri seperti ini? Apa kau tahu kalau mommy sangat mengkhawatirkanmu?"
Suara tajam itu sedikitpun tidak membuat wanita itu menanggapinya. Dia tetap menatap kosong keluar jendela tanpa reaksi apapun.

"Apa kau mau tinggal disini?"
Mattheo kembali mengucapkan kalimat tajamnya dengan sedikit perasaan gelisah. Tidak ada tanda-tanda wanita itu memperdulikan nya. Wanita itu tetap sibuk dengan fikirannya sendiri.

"Hentikan kegilaanmu, Theodore! Saat ini dokter sialan itu, sedang meminta mommy agar kau tinggal di Rumah Sakit Jiwa! Apa kau benar-benar ingin gila? Apa kau benar-benar ingin membuatku gila juga?"
Mattheo berdiri dari duduknya dan memegang kasar kedua bahu Theodore. Seolah ingin menyadarkan Theodore dan membuat wanita itu memperhatikannya.

Namun hal yang terjadi malah semakin membuat Mattheo khawatir. Wanita itu, hanya menatap datar ke arahnya. Seolah menatap orang asing yang baru pertama kali bertemu. Theodore hanya menatap Mattheo sekilas, kemudian kembali menatap datar ke arah luar jendela.

Tangan Mattheo yang kini berada di bahu Theodore bergetar. Udara di sekitarnya seolah menipis dan membuatnya seolah tercekik.

"Theodore, apakah kau benar-benar telah menjadi gila? Lalu, jika kau gila kau fikir aku tidak akan menjadi gila juga? Lihat aku! LIHAT AKU!"
teriakan frustasi Mattheo dengan cengkraman di bahu Theodore yang semakin keras, membuat wanita itu kini kembali menatap Mattheo. Tatapannya kini tampak melancarkan kesedihan dan putus asa. Air mata kembali jatuh membasahi pipi pucatnya.

"Kau tidak harus menjadi gila karena Sven brengsek itu. Kau hanya boleh gila terhadapku. Hanya padaku. Jadi, kembalilah Od! Kembalilah! Kau pernah berjanji untuk tidak meninggalkanku apapun yang terjadi. Jadi, sebelum aku memintamu pergi, jangan pernah meninggalkanku, Od. Bahkan jika kau harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa ini, kau tidak ku ijinkan. Kau hanya boleh berada di dalam jarak pandangku. Itu hukumanmu. Hukuman karena membuatku seperti orang gila juga karena kegilaanmu."
Setetes air mata keluar dari ujung mata Mattheo. Sebisa mungkin, dia mengatur perasaan khawatirnya, tetapi air mata sialan itu seolah mengkhianatinya dan mengalir begitu saja.

Mattheo menundukkan kepalanya, berusaha menutupi lelehan air mata yang mengkhianatinya. Akan tetapi, dia sedikit terkejut saat tangan halus dan dingin milik Theodore, menghapus air matanya dengan sangat lembut.

"Jangan menangis!"
Ucapan lembut dari wanita ini, membuat Mattheo menegakkan kepalanya. Pandangan matanya seolah tidak percaya, saat mendengar wanita di depannya ini berbicara padanya. Ya, sudah 2 bulan ini, wanita ini bahkan tidak berbicara apapun. Dia selalu berteriak saat melihat orang lain.

It's Started With Our NameWhere stories live. Discover now